Otobiografi

Felix Wahyu Utomo

15 Oktober 1993 : Lahir di Jakarta

24 April 1994 : Dibabtis di Gereja Santo Thomas Rasul, Jakarta Barat

1997-1994 : TK. Lamaholot, Jakarta Barat

1999-2005 : SD. Lamaholot, Jakarta Barat dan SD. Yos Sudarso, Balikpapan

2005-2008 : SMP. Santo Mikael, Balikpapan dan SMP. Lamaholot, Jakarta Barat

2008-Sekarang : Seminari Menengah Wacana Bhakti dan Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan

Masa Balita

Tepat pada tanggal 15 Oktober 1993, aku dilahirkan dari pasangan suami istri Bapak Archandius Sumarso dan Ibu Christina Supinah. Lalu, mereka memberikanku sebuah nama, yaitu Felix Wahyu Utomo, Namun, teman-temanku memanggilku Felix. Ketika aku menanyakan apa sebenarnya arti dari nama tersebut, ibuku mengatakan bahwa kata “Felix” berarti sebuah kemujuran, kata “Wahyu” berarti ajakan atau panggilan dan kata “ Utomo” berarti yang utamo. Aku sendiri merupakan anak terakhir dari dua bersaudara. Kakakku bernama Antonius Suryantopo. Bagiku, sosok kakakku merupakan sosok penyemangat di dalam diriku. Sebab, ketika aku sedang gundah, terkadang aku selalu menceritakan itu semua kepada kakakku. Alhasil, aku merasa bahwa aku mampu sadar akan apa yang ada di dalam diriku dan terlebih aku mampu membangun semangatku kembali.

Ketika tahun 1994, aku memulai pendidikanku di bangku TK kecil di TK Lamaholot, Jakarta Barat. Di masa-masa ini, aku benar-benar merasakan kasih saying yang lebih dari kedua orang tuaku. Bahkan, bisa dibilang bahwa kau masih sangat dimanja oleh kedua orang tuaku. Oleh karena hal itulah, aku tidak bisa lepas dari kedua orang tuaku. tak jarang, aku selalu menangis, jika ditinggal pergi loeh kedua orang tuaku. Di masa-masa kecilku ini, nenekku juga ikut turun tangan dalam mengasuhku. Aku merasa diberi perhatian lebih oleh nenekku dibanding dengan cucu-cucunya yang lain. Sebuah kenangan yang selalu aku ingat dari nenekku bahwa dia selalu mengajakku berjalan-jalan setiap sore. Selain itu, biasanya sehabis pulang sekolah, aku langsung menuju meja makan. Sebab, sering kali nenekku menyiapkan makanan spesial untukku.

Yang uniknya lagi bahwa ketika ingin masuk sekolah, aku selalu ditemani oleh ibuku. Apabila ibuku keluar dari kelas, biasanya aku selalu membuntutinya dari belakang. Di masa-masa ini, aku sebagi seorng anak kecil sangat takut dengan seorang pengamen, badut, dan sebaginya. Oleh karena itulah, jika aku nakal, ayahku selalu menakut-nakuti dengan seorang pengamen, badut, dan sebagainya.

Semasa kecilku, aku memiliki seorang sahabat yang tak lain adalah saudarku sendiri. Indra, begitulah panggilanya. Bisa dibilang bahwa persahabatanku dengannya sudah begitu erat. Kebetulan, aku dan dia berada dalam satu sekolah yang sama. Di saat-saat sekolah itu, ada sebuah pengalaman yang unik yang masih kuingat sampai saat ini bersamanya. Saat itu, aku dan Indra mendaftar sebagai sebagai seorang murid baru di bangku TK besar. Setelah pendaftaran itu, guruku langsung melakukan pembagian kelas bagi setiap murid,. Dalam pembagian tersebut, aku dan Indra mendapat kelas yang berbeda. Melihat hal itu, aku pun merasa tidak terima. Sebagai seorang anak kecil, saat itu aku pun langsung menangis kepada orang tuaku. Saat itu, aku meminta ibuku agar aku bisa sekelas dengan Indra. Oleh karena tingkahku tersebut, ibuku pun langsung meminta kepada guru yang bersangkutan agar aku bisa sekelas dengna Indra. Mendengar hal itu, guruku pun langsung menempatkanku sekelas dengan Indra. Bagiku hal tersebut adalah hal yang wajar sebagai seorang anak kecil.

Layaknya anak kecil pada umumnya, aku dan Indra juga sering bertengkar. Namun, pertengkaran itu hanya sebatas pertengkaran anak kecil pada umumnya. Sampai saat ini, aku masih teringat dengan salah satu kejadian dimana aku pernah bertengkar dengan Indra. Suatu kali, aku sedang duduk di depan teras rumahku sembari bermain mobil-mobilan. Ketika itu, Indra lewat di depan rumahku dan meminjam mobil-mobilanku tersebut. Tak sengaja, Indra pun merusakkan mainanku tersebut. Aku yang saat itu masih sangat polos langsung mendorng Indra dan menyiramnya dengan seember cat air yang ada di dekatku. Akibatnya, Indra pun menangis karena hampir semua tubuhnya penuh dengan cat air. Oleh karena hal itu, aku pun dimarahi oleh kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku langsung menyuruhku untuk meminta maaf kepada Indra. Mendengar hal itu, dengan ras takut aku pun mendatangi Indra dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya, Indra pun memaafkanku. Terus terang, Indra adalah seorang mau mengalah dan hal itulah yang kusuka dari dirnya. Dalam kejadian ini pula nampak bahwa persahabatanku dengan Indra masih terlalu polos, layaknya persahabatan seorang anak kecil pada umumnya.

Semasa kecilku, aku benar-benar merasakan sebuah kebahagian yang besar. Ketika aku masih berumur tiga tahun, ayahku mengajak keluargaku untuk berlibur ke Pulau Bali. Mendengar jakan itu, aku sangat senang sekali. Yang terpikir di dalam pikiranku saat iu hanyalah bermain dan bergembira. Di sana, aku dan keluargaku sering mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada. Namun, diantara banyak tempat wisata yang ada, aku lebih suka bermain di pinggir pantai Kuta. Biasanya, aku paling senang jika ayahku membawaku berenang ke pinggir pantai. Tak jarang, kalau sudah asyik bermain, aku tidak mau diajak pulang kerumah. Namun, orang tuaku memiliki cara sendiri untuk membujukku agar mau pulang. Biasanya, ibuku menjanjikanku membelikan main-mainan ataupun permen. Mendengar janji itu, tanpa berpikir panjang aku pun langsung menuruti segala perintah dari ibuku. Liburan saat itu sungguh menjadi moment berharga bagiku. Dalam liburan tersebut, aku dan keluargaku tidak hanya untuk bersenang-senang semata. Namun biasanya, aku dan keluargaku juga pergi mengunjungi sanak saudara yang kebetulan tinggal di sana. Setelah lima hari merasakan liburan di Pulau Bali, akhirnya aku dan keluargaku pun kembali ke Jakarta. Sebab, hal itu didesak dengan waktu liburanku yang sudah hampir habis dan juga faktor pekerjaan ayahku sendiri yang harus segera diselesaikan. Walaupun hanya beberapa hari, aku tetap merasa puas atas liburanku ini.

Terus terang, ketika aku masih kecil, aku dijuluki oleh teman-temanku sebagai preman kecil. Hal itu terjadi karena tingkah lakuku yang bisa dibilang sanagt nakal. Dari kenakalanku ini, aku mempunyai sebuah pengalaman yang masih aku ingat sampai saat ini. Ketika itu, aku sedang bermain bersama-sama dengan teman-temanku, tiba-tiba ada seorang anak muda mendekatiku. Saat itu, dia menyuruhku untuk mengucapkan apa yang dia katakan. Saat itu, aku yang masih seorang anak kecil belum mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Setelah orang itu membisikkanku sebuah kata, aku pun langsung mengucapkan kata tersebut kepada teman-temanku dengan berteriak. Aku tidak mengetahui bahwa kata yang kuucapkan tersebut merupakan sebuah kata kotor yang tidak seharusnya diucapkan seorang anak kecil. Mendengar hal itu, beberapa temanku pun langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuaku. Setelah mendapat laporan itu, ayahku pun langsung menghampiriku dan menarikku masuk ke dalam rumah. Di rumah, aku pun dipukul oeh ayakku dengan ikat pinggang. Setelah itu, ayahku pun menyidangku di ruang keluarga. Lalu, ayahku bertanya kepadaku, mengapa hal ini bisa terjadi. Dengan rasa kecewa, aku pun memberitahukan apa yang terjadi sebenarnya. Setelah itu semua, aku pun langsung meminta maaf kepada kedua orang tuaku dan kepada semua teman-temanku. Atas hal ini, aku membuat sebuah perjanjian kepada orang tuaku bahwa aku tidak akan melakukan hal ini lagi.

Sekolah Dasar

Ketika aku duduk di bangku kelas 1 SD, orang tuaku sering dipanggil oleh pihak sekolah. Hal itu bukan karena ada urusan penting atau yang lainya tetapi lantaran tingkah lakuku yang saat itu benar-benar nakal. Di bangku SD ini, aku sering dimarahi oleh kedua orang tuaku karena kenakalanku tersebut. Karena kenakalan itu pula, terkadang teman-temanku menghindar dariku.di saat-saat itu, aku belum menyadari bahwa semakin dewasa justru aku semakin nakal. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan kenakalanku tersebut.

Naik ke bangku 2 SD, aku justru semakin masuk ke dalam pergaulan yang buruk. Akibat hal tersebut, aku dianggap oleh banyak temanku sebagai anak yang tak tahu diri. Terkadang, aku menangis karena teman-temanku tidak mengajakku bermain bersama dengan mereka. Karena tingkah lakuku yang tak tahu diri tersebut, terkadang ayahku memukul dan memarahiku. Bila ayahku marah kepadaku, biasanya aku selalu pergi ke rumah tanteku yang berada tepat di depan rumahku. Namun, di sana aku tidak pernah sampai berhari-hari tetapi paling maksimal kira-kira 1 satu sampai tiga jam pasti aku langsung kembali ke rumah lagi. Dan, dengan raut wajah yang kasihan, aku pun langsung meminta maaf kepada kedua orang tuaku.

Waktu terus berlalu, akhirnya aku pun naik ke bangku 3 SD. Di saat itu, aku dan keluargaku harus pindah ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan ayahku yang mendapat pekerjaan di sana. Hal ini pula yang mendesakku untuk pindah sekolah di sana. Di sana, aku benar-benar mendapatkan suasana dan situasi yang baru. Jujur, aku sanagt ynaman tinggal di sana. Satu hal yang membedakan kehidupan di kota Balikpapan dengan kota Jakarta, yaitu bagaimana cara masyarakat menyampaikan bahasanya. Kalau masyarakat Balikpapan memakai bahasa yang halus dan sopan disbanding masyarakat Jakarta yang hampir sebagian besar memakai bahasa yang kasar. Oleh karena hal itulah, aku mencoba menyesuaikan diriku di sana.

Di sana, hidupku tidak selalu penuh dengan kebahagiaan terus-mensrus. Ada kalanya dimana aku harus merasakan jatuh. Saat itu, ketika hampir tiga tahun ayahku mendirikan perusahaannya, dia mengalami kerugian besar atas segala usahanya. Akibat hal itulah, Perusahaan ayahku mengalami kebangkrutan. Hal ini sungguh memukul diriku. Aku yang saat itu masihlah seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa hanya bisa berdoa atas kejadian ini. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk bisa membantu ayahku mengatasi masalah ini. Namun, kekecewaan itu ternyata membawa nilai positif di dalam diriku. Oleh karena kejadian inilah, aku semakin sadar dan mengerti akan segala tanggungjawabku sebagai seorang anak. Aku yang dahulu seorang anak yang malas, nakal, dan manja, kini perlahan-lahan berubah menjadi seorang anak yang mengerti dan hormat kepada orang tua. Dari situ, timbul di dalam diriku untuk memberikan yang terbaik bagi kedua orang tuaku. Niatku itu terwujudkan, ketika aku mendapat prestasi yang baik di saat-saat penerimaan rapor kenaikan kelas. Melihat hal itu, kedua orang tuaku sangat bangga sekali terhadapku. Terlebih, mereka selalu mendukung segal usahaku dalam mencapai perubahan yang lebih baik. Aku sangat senang jika melihat kedua orang tuaku bisa tersenyum manis terhadapku. Aku berharap bahwa aku dapat selalu memberikan yang terbaik bagi mereka dan membuat mereka selalu tersenyum manis kepadaku.

Setelah merasakan di bangku 4 SD, kini aku pun melangkah ke bangku 5 Sd. Di bangku 5 SD inilah, aku mulai tertarik unutk mengikuti berbagai macam lomba, dari mulai lombal melukis, menyanyi, fashion, dan lain sebagainya. Tak jarang, aku pun mendapatkan banyak penghargaan dari setiap lomba yang kuikuti. Namun di sisi lain, lomba-lomba tersebut justru memberikan nilai negatif di dalam diriku. Akibat banyaknya lomba yang kuikuti, aku semakin lupa akan segala tanggungjawabku sebagai seorang pelajar. Hal itu terbukti dengan menurunnya prestasiku di sekolah. Melihat hal itu, aku berusaha bangkit kembali. Maka dari itu, aku mengambil keputusan bahwa aku haru memprioritaskan pelajaranku di sekolah. Setelah mencoba itu semua, alhasil prestasiku berhasil naik kembali. Hal itu terbukti ketika penerimaan rapor kenaikan kelas, aku berhasil menduduki peringkat kedua di sekolahku. Bagiku pribadi, hal ini bisa terjadi karena dukungan dan semangat yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku menganggap bahwa dukungan dan dorongan dari kedua orang tuaku memberikan pengaruh yang besar di dalam hidupku.

Memasuki bangku 6 SD, aku mulai mendorong aktivitas studiku. Sebab, saat itu untuk lulus dari tingkat SD, aku harus memiliki nilai yang cukup tinggi seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bila aku sedang belajar, biasanya ibuku selalu menyemangatiku dengan ungkapan-ungkapannya. Namun lain halnya dengan ayahku, dia mempunyai cara sendiri untuk menyemangatiku dalam proses belajarku. Biasanya, ayahku selalu menakut-nakuti dengan ungkapan bahwa bila aku tidak lulus ujian, maka aku tidak akan disekolahkan lagi.mendengar hal itu, secara otomatis aku pun langsung pergi ke ruang belajarku dan berusaha berkonsentrasi penuh pada pelajaran. Alhasil, ketika ujian kelulusan berlangsung, aku pun dengan tenang mengerjakannya. Hingga akhirnya, aku pun lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Melihat hal tersebut, orang tuaku pun menangis kepadaku. Bagiku, tangisan mereka bukan mengungkapkan debuah kekecewaan, tetapi justru mengungkapkan kebahagian yang besar. Melihat orang tuaku menangis, aku pun ikut terbawa suasana. Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku tak menyagka bahwa aku yang selama ini dianggap sebagai anak yang nakal, malah,dan tak tahu diri; kini berhasil memberikan perubahan yang besar. Terlebih, aku bisa memberikan suatu kebahagiaan kepada kedua orang tuaku.

Sekolah Menengah Pertama

Setelah berhasil lulus dari tingkat SD, kini aku dihasapkan pada dua pilihan unutk memilih SMP mana yang cocok bagiku. Pilihan tersebut, yaitu antara memilih SMP negeri atau SMP swasta. Saat itu, aku sempat berpikiran untuk memilih SMP negeri, tetapi aku meminta saran dari kedua orang tuaku terlebih dahulu. Mereka pun member saran bahwa aku sebaiknya memilih SMP swasta saja. Sebab, bagi kedua orang tuaku, SMP negeri dinilai terlalu bebas. Kedua orang tuaku pun mengusulkanku untuk masuk SMP swasta. Mendengar hal itu, aku menjadi tertarik unutk masuk SMP swasta. Hingga akhirnya, aku pun berhasil diterima di salah satu sekolah swasta, yaitu SMP St, Mikael. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah di Balikpapan yang dikelolah oleh pihak kesusteran. Di sekolah itu, aku benar-benar merasakan suatu kebersamaan dan kenyamanan, sebab, di sekolah ini hamper sebagian muridnya saling terbuka dan berbagi satu sama lain. Maklum saja, sebab sekolah yang dikelolah para suster ini, menuntut pribadi-pribadi yang terbuka dan berkompeten. Dari sinilah, aku mencoba menjadi seorang anak yang mau terbuka dengan yang lainnya,. Tak jarang, aku sering berbagi seputar pengalaman-pengalamanku baik yang menyenangkan maupun sebaliknya. Mendengar segala pengalaman itu semua, mereka tidak merendahkan ataupun mencemoohku, tetapi justru mereka memberiku dukungan. Bagiku pribadi, mereka sudah kuanggap sebagai seorang sahabat dekat. Jadi, aku tak canggung lagi berbagi dengan mereka semua.

Di awal kelas satu SMP, aku tertarik dengan hobi ayahku, yaitu memancing. Terkadang, jika ayahku memiliki waktu kosong, dia sering mengajakku ke tenagh laut unutk memancing bersama dengan teman-temannya. Di situlah, aku mulai berkata kepada ayahku untuk membelikanaku alat-alat memancing seprti yang ia punya. Mendengar hal itu, ayahku hanya tertawa dan mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Hingga suatu saat, ketika pulang dari sekolah, aku melihat seperangkat alat-alat memancing baru di atas tempat tidurku. Seketika itu juga, aku pun langsung menanyakan hal ini kepada ayahku. Akhirnya, aku baru mengetahui bahwa ayahkulah yang memberikanku itu semua. Di situlah awal dimana aku mulai berani menyalurkan hobiku tersebut. Aku mulai berani untuk pergi seorang diri ke pinggir laut untuk memancing. Biasanya kalau ada waktu kosong, aku pun mengajak teman-temanku untuk pergi memancing bersama-sama. Bagiku, ini merupakan suatu hal yang mengasyikkan dan menarik untuk dilakukan.

Di masa-masa SMP aku pernah mengalami trauma yang berat atas kejadian yang menimpa ibuku. Suatu kali, aku sedang duduk di depan teras rumahku. Secara sadar, tiba-tiba aku mendengar suara tangisan ibuku dari dalam kamar. Mendengar itu, aku pun langsung menuju ke kamar ibuku. Di kamar itu, ibuku menangis kesakitan. Hal itu disebabkan karna penyakit maagnya yang sedang kambuh ditambah lagi tensi darah tingginya yang cukup tinggi. Di saat-saat itu, aku bingung harus berbuat apa untuk menolong ibuku. Kebetulan, saat itu ayahku sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Aku yang hanya seorang diri hanya bisa memijat-mijat ibuku sembari mendoakan tiga kali Salam Maria. Setelah menahan rasa sakit yang cukup lama, tiba-tiba ibuku pun langsung tak sadarkan diri di atas tempat tidurnya. Melihat hal itu, aku pun langsung bergegas meminta pertolongan kepada para tetangga terdekat. Akhirnya, para tetangga pun langsung membawa ibuku ke rumah sakit terdekat. Setelah sampai di rumah sakit, pihak rumah sakit memutuskan bahwa ibuku harus dirawat secara intensif. Setelah hamper seharian mendapat perawatan, akhirnya ibuku pun sadarkan diri. Namun, aku yang saat itu masih harus sekolah pun meninggalkan ibuku. Tante dan saudara perempuankulah yang menemani ibuku di rumah sakit. Oleh karena hal ini, terkadang kau selalu melamun memikirkan keadaan ibuku.

Di masa-masa SMP aku pernah mengalami trauma yang berat atas kejadian yang menimpa ibuku. Suatu kali, aku sedang duduk di depan teras rumahku. Secara sadar, tiba-tiba aku mendengar suara tangisan ibuku dari dalam kamar. Mendengar itu, aku pun langsung menuju ke kamar ibuku. Di kamar itu, ibuku menangis kesakitan. Hal itu disebabkan karna penyakit maag yang sedang kambuh ditambah lagi tensi darah tingginya yang cukup tinggi. Di saat-saat itu, aku bingung harus berbuat apa untuk menolong ibuku. Kebetulan, saat itu ayahku sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Aku yang hanya seorang diri hanya bisa memijat-mijat ibuku sembari mendoakan tiga kali Salam Maria. Setelah menahan rasa sakit yang cukup lama, tiba-tiba ibuku pun langsung tak sadarkan diri di atas tempat tidurnya. Melihat hal itu, aku pun langsung bergegas meminta pertolongan kepada par tetangga terdekat. Akhirnya, para tetangga pun langsung membawa ibuku ke rumah sakit terdekat. Setelah sampai di rumah sakit, pihak rumah sakit memutuskan bahwa ibuku harus dirawat secara intensif. Setelah hamper seharian mendapat perawatan, akhirnya ibuku pun sadarkan diri. Namun, aku yang saat itu masih harus sekolah pun meninggalkan ibuku. Tante dan saudara perempuankulah yang menemani ibuku di rumah sakit. Oleh karena hal ini, terkadang aku sering melamun memikirkan keadaan ibuku. Tak jarang, aku dimarahi oleh guruku karena aku tak fokus pada pelajaran. Biasanya, ketika sepulang sekolah, aku pun langsung menjenguk ibuku di rumah sakit. Terkadang, aku jika aku merasa lelah, aku pun tertidur di samping ibuku.

Suatu kali, aku pulang ke rumah untuk mempersiapkan segala keperluan sekolahku. Saat malam harinya, saudara perempuanku mengabariku bahwa ibuku dalam keadaan kritis. Mendengar hal itu, aku pun langsung menuju ke rumah sakit. Sesampainya di sana, tiba-tiba saja ibuku berkata kepadaku bahwa dia sudah tidak kuat lagi menghadapi ini semua. Dia berpesan kepadaku bahwa aku harus menjadi anak yang berguna. Mendengar perkataan itu, aku pun tak kuasa menahan tangis . aku pun langsung memeluk ibuku dengan erat. Saat itu, dokter yang menangani ibuku langsung memeriksa ibuku dan menyuruhku ke luar. Di luar, aku menunggu dengan harapan bahwa ibuku bisa terselamatakn. Ketika dokter ke luar dari ruangannya, dokter memberitahuku bahwa ibuku masih bisa tertolong. Di situlah, aku mulai merasakan bahwa Tuhan benar-benar hadir di dalam diriku. Ternyata, segala permohonanku selama ini telah di dengar dan di wujudkan oleNya. Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, ibuku pun diperbolehkan pulang. Sebab, kondinya yang sudah mulai membaik. Saat itu, aku hanya bisa berkata “ Terima Kasih Tuhan”.

Waktu terus berlalu, tak terasa saat itu aku pun menginjak ke bangku kelas 2 SMP. Di saat-saat itu, aku pernah merasakan sebuah kejadian yang belum pernah kualami sebelumnya. Ketika itu, aku sedang asyik bermain sepak bola bersama-sama dengan teman-temanku, tak sengaja kakiku tersandung sebuah batu. Akibat kejadian tersebut, kakiku terluka cukup parah. Kedua orang tuaku pun membawaku ke klinik terdekat. Setelah beberapa minggu, aku pun meras lebih baik. Namun, aku melihat suatu benjolan besar tepat dimana bekas lukaku yang dulu. Melihat hal itu, orang tuaku pun langsung membawaku ke ruamh sakit. Sesampainya di rumah sakit, dokter pun berbisik kepadaku dan berkata bahwa kakiku harus dioperasi. Sebab, jika tidak dioperasi, aku tidak akan bisa berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Mendengar hal itu, aku langsung meras panik dan khawatir. Maklum, kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kali terjadi di dalam hidupku. Terus terang, aku sangat takut dengan yang namanya operasi. Sempat terpikir olehku bahwa aku akan mengindar dari operasi tersebut. Namun, aku mencoba melihat lebih ke depan lagi. Jika saja aku tidak menjalani proses operasi ini, mungkin saja aku tidak akan bisa berjalan. Dari pandangan itulah, aku mencoba memberanikan diri untuk menjalni operasi ini. Beberapa hari menjelang operasi, aku pun rutin menjalani doa Tiga Kali Salam Maria. Di situ, aku berharap bahwa proses operasiku dapat berjalan dengan lancar. Waktu pun terus bergulir, tak terasa hari dimana aku harus menjalani opersai pun telah tiba. Dengan tenang, aku pun masuk ke ruang operasi. Sebelum operasi di mulai, dokter pun memberi kesempatanku untuk berdoa. Seusai berdoa, aku pun menutup mataku perlahan-lahan. Setelah sebuah suntikan menusuk tubuhku, aku pun tak sadarkan diri. Ketika malam hari, aku pun sadarkan diri. Dengan perasaan lega, aku pun langsung memeluk ibuku yang saat itu menunggu di sampingku. Atas kejadian ini, aku sungguh bersyukur bahwa aku dapat menjalani proses operasiku dengan baik Rasa syukur itu semakin lengkap ketika aku melihat ibuku dengan setia menunggu di sampingku. Atas hal ini, aku sungguh beruntung bahwa aku masih diberi perhatian yang lebih dengan orang-orang di sekitarku.

Tak terasa waktu berjalan dengan cepatnya, saat itu aku pun menginjak ke bangku kelas 2 SMP. Saat-saat itu, aku mulai tertarik dengan permainan sepak bola. Saat itu, banyak waktuku kuhabiskan untuk bermain sepak bola. Ketertarikanku akan permainan sepak bola muncul karena aku termotivasi dengan gaya para pemain bola di lapangan hijau. Entah mengapa, ketika sedang menonton pertandingan sepak bola di televisi, aku merasa tidak puas kalau hanya sekedar melihat, tetapi ada keinginan di dalam diriku untuk bisa bermain sepak bola. Di situlah awal dimana aku mulai tertarik dengan permainan sepak bola. Ketika liburan datang, tak jarang aku biasanya membuat janji dengan teman-teman sekolahku unutk bermain bola. Bahkan, aku rela mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk bisa bermain sepak bola. Ternyata benar kata pepatah bahwa kesempatan itu tidak akan lari kemana-mana. Suatu ketika, aku sedang bermain sepak bola bersama-sama dengan temanku. Tiba-tia saja, ada seorang pemuda berbadan tinggi mendekatiku dan menawariku unutk masuk SSB ( Sekolah Sepak Bola). Ternyata, aku baru sadar bahwa orang tersebut ialah salah satu pemain sepak bola asal Balikpapan. Melihat hal itu, aku dan beberapa temanku pun langsung menerima tawaran tersebut. Namun sebelum masuk ke SSB, aku dan beberapa temanku tersebut harus mengikuti seleksi terlebih dahulu. Dalam seleksi tersebut, aku sungguh beruntung bahwasanya aku bisa berhasil lolos dari seleksi tersebut. Atas kesempatan ini, aku menjadi bersemangat dalam bermain sepak bola. Sempat terlintas di dalam pikiranku bahwa aku ingin menjadi seorang pemain sepak bola yang profesional. Di dalam SSB tersebut, aku benar-benar dilatih menjadi sosok pemain bola pada umumnya.

Tak terasa waktu terus berjalan, setelah hampir satu tahun aku di SSB, akhirnya aku ditarik oleh pelatihku ke dalam grup junior dari tim Persatuan sepak bola Balikpapan ( Persiba ). Melihat hal itu, aku pun semakin bersemangat di bidang sepak bola. Namun, kesempatan itu pupus, ketika ayahku menyuruhku untuk keluar dari tim sepak bola. Hal itu dilakukan ayahku dengan pertimbangan bahwa dia sangat prihatin dengan nilai-nilaiku yang mulai menurun. Maka dari itu, ayahku memilih langkah terbaik bagi diriku. Mendapati hal itu, aku hanya bisa menerimanya. Sebab, itu juga langkah yang terbaik bagi diriku.

Ketika di kelas 2 SMP ini, aku dan kedua orang tuaku sering berpergian ke luar kota, khususnya kota Yogyakarta. Tujuan kami ke sana bukanlah untuk rekreasi dan sebagainya, tetapi unutk mengunjungi kakakku yang saat itu berada di Seminari Mertoyudan, Magelang dan sekaligus unutk mengunjungi nenekku di sana. Terus terang, saat itu aku dan kedua orang tuaku sangat rindu dengan kakak dan juga nenekku. Maka dari itu, kami rela menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk bisa bertemu dengan mereka. Ketika di Yogyakarta, aku tak menyia-nyiakan kedatanganku ke rumah nenekku. Di rumah nenekku inilah, aku benar-benar merasa nyaman. Bahwasanya, banyak hal-hal yang menarik yang bisa aku dapat di sana. Contohnya saja, ketika aku dan keluargaku melakukan pendakian ke gunung merapi. Bagiku, ini merupakan pengalaman pertamaku bisa mendaki gunung merapi. Ketika di Yogyakarta, aku dan keluargaku juga tak lupa mengunjungi nenekku di Wonogiri. Di sini juga tak kalah menariknya dengan rumah nenkku di Yogyakarta. Di sini, banyak kegiatan yang biasanya selalu kulakukan. Ada salah satu kegiatan yang tak kutinggalkan jika aku berkunjung ke sana, yaitu memancing di laut bebas. Kebetulan, rumah nenekku di Wonogiri sangat dekat sekali dengan laut bebas. Melihat hal itu, aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Aku dan ayahku yang kebetulan sangat suka memancing pun menikmati betul kesempatan ini. Kegiatan ini merupakan salah satu dari banyak kegiatan yang kulakukan. Ada satu lagi kegiatan yang kulakukan di sana, yaitu berkelana mencari burung di hutan. Bagiku, ini merupakan suatu kegiatan yang benar-benar menantang. Di sana, aku mempunyai seorang teman yang sangat suka berkelana mencari burung di hutan. Biasanya, bila dia ingin melakukan kegiatannya itu, dia pun selalu mengajakku melakukan nya. Aku sendiri pun langsung menerima ajakannya tersebut. Bagiku, ini semua merupakan pengalaman tersendiri di dalam diriku. Terkadang, aku tidak ingin pulang ke Balikpapan karena aku sudah terlanjur nyaman di Wonogiri. Namun karena kebutuhan sekolahku, mau tidak mau aku pun harus meninggalkan ini semua. Walaupun hanya beberapa hari di Wonogiri, tetapi aku meras puas dengan apa yang aku dapat di sana.

Saat-saat di kelas 2 SMP, aku pernah mengalami sakit yang cukup parah. Saat itu, aku sedang belajar di kelas, tiba-tiba saja aku meras pusing dam mual. Namun, aku tetap menahan ras sakit itu. Namun, setelah mencoba menahan rasa sakit yang cukup lama, tiba-tiba saja aku pun tak sadarkan diri sembari duduk di atas meja belajarku. Melihat hal tiu, teman-temanku pun langsung membawku ke ruang UKS. Setelah beberapa menit di ruang UKS, aku pun tetap tak sadarkan diri. Melihat hal itu, guru-guruku pun langsung membawaku ke rumah sakit terdekat sembari mengabari kedua orang tuaku. Ketika di rumah sakit, dokter pun memutuskan bahwa aku harus dirawat secar intensif. Mendengar keputusan itu, kedua orang tuaku pun merasa khawatir akan kondisiku. Waktu terus berlalu, setelah kira-kira dua jam lebih aku mendapat perawatan, akhirnya aku pun sadarkan diri. Dokter yang saat itu menanganiku memberitahuku bahwa aku terkena penyakit tipus yang cukup parah. Maka dari itu, aku harus dirawat beberapa hari untuk memulihkan keadaanku kembali. Di saat-saat pemulihan inilah, aku sungguh bersyukur bahwa aku masih diberi kesempatan unutk hidup. Terlebih, aku bersyukur bahwa masih ada orang yang mau peduli terhadapku. Setelah beberapa hari melalui masa pemulihan, akhirnya dokter pun memperbolehkanku untuk pulang ke rumah. Ketika aku mulai masuk sekolah, aku pun tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman dan juga guru-guruku. Sebab, lewat kepedulian merekalah aku bisa sehat kembali.

Setelah satu tahun lebih merasakan suka-duka di kelas 2 SMP, akhirnya aku pun naik ke kelas 3 SMP. Ketika kenaikan kelas 3 SMP inilah, aku dan kedua orang tuaku harus pindah ke Jakarta lagi. Sebab, ayahku harus mengurusi pekerjaannya di sana. Melihat hal itu, aku cukup sedih karena aku harus meninggalkan segalanya yang pernah aku dapat di Balikpapan, entah teman-temanku, tempat tinggalku maupun sekolahku. Namun, sebelum kepindahanku ke Jakarta, aku mengadakan suatu reuni bersama dengan teman-teman baikku. Sebenarnya, mereka juga sedih atas kepindahanku ini.

Waktu pun terus berlalu, tak terasa tiba sudah waktunya aku dan kedua orang tuakuharus pindah ke Jakarta. Beberapa teman dekat dan keluargaku pun menangis atas kepindahanku ini. Ketika di dalam pesawat, terkadang aku melamun memikirkan ini semua sembari melihat fisik kota Balikpapan dari ketinggian awan. Bahkan, air mataku pun tak bisa kutahan lagi. Beberapa jam melakukan perjalanan, akhiranya aku pun tiba di Jakarta. Beberapa saudaraku pun menyambut kedatanganku dengan gembira. Dan, di sinilah awal dimana aku memulai hari-hariku dengan keadaan dan lingkungan yang dulu.

Setelah kepindahan itu, aku pun mendaftarkan diri ke sekolahku yang dulu. Beberapa minggu setelah pendaftaran itu, aku pun berhasil diterima sebagai siswa baru. Pertama kali aku memulai sekolahku, tak sengaja aku bertemu dengan salah seorang teman lamaku yang kebetulan masih bersekolah di sekolah yang sama. Ketika pertama kali bertemu, kami pun saling berbagi pengalaman satu sama lain. Sebenarnya masih banyak teman-teman lamaku yang bersekolah di tempat yang sama. Namun karena sudah lama tidak bertemu, kebanyakan dari mereka lupa terhadapku dan begitupun sebaliknya. Walaupun begitu, aku tetap menjalani masa-masa SMPku dengan santai dan apa adanya.

Di kelas 3S SMP ini, aku benar-benar merasakan suatu perubahan yang besar di dalam diriku. Perubahan itu nampak sekali di dalam prestasi-prestasiku yang bisa dikata meningkat lebih baik. Namun, ini semua tak terlepas dari peran kedua orang tuaku yang selalu mendorong dan mendukung semangatku dalam berpendidikan. Terus terang bahwa kedua orang tuaku adlah sosok yang memprioriatskan pendidikan. Bagi mereka pendidikan adalah awal dari segala-galanya. Bagiku, prestasi-prestasi inilah yang hanya bisa kupersembahakan kepada kedua orang tuaku.

Ketika mendekati kelulusan, aku benar-benar merasakan kekhawatiran yang besar. Sebab, saat itu aku harus menghadapi ujian negara unutk mencapai kelulusanku. Yang mebuatku khawtir lagi bahwa jumalh mata pelajaran yang diujiankan saat itu semakin bertambah banayk. Melihat hal itu, tak henti-hentinya aku meluangkan banyak waktuku unutk membaca buku pelajaran. Bahkan, kedua orng tuaku pun mengingatkanku bahwa sebaiknya aku tidak belajar terlalu keras. Namun khwatir yang berlebihan membuat semangatku dalam belajar semakin meningkat. Hingga akhirnya waktu ujian pun tiba, aku tetap bersemangat dalam proses belajarku. Dan apa yang kudapat? Ya , aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Di situlah, aku mulai merasa lega stelah selama ini meraskan kekhawatiran dan ketegangan yang berlebihan.

Seminari Menengah Wacana Bhakti dan SMA Gonzaga

Awal tumbuhnya benih-benih panggilan

Mengapa ingin masuk seminari ? Ya, jika aku ditanya seperti itu, aku akan mengisahkan secara jelas dan tepat awal tumbuhnya benih-benih panggilan di dalam diriku. Ketika aku masih tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur tepatnya ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku sanagt sering mengunjungi kakakku yang saat itu menjadi seminaris di Seminari Mertoyudan. Ketika bertemu dengannya, aku melihat suatu perubahan yang besar di dalam dirinya. Dia yang dulu adalah seorang anak yang nakal, ceroboh kini berubah menjadi anak yang ramah, sopan, disiplin, dan sebaginya. Di situlah, aku mulai bertanya-tanya “ mengapa hal itu bisa terjadi ?” aku pun mulai penasaran dengan kehidupan di seminari. Dalm hati kecilku, aku mulai bertanya “ apakah benar bahwa segala aspek di seminari bisa merubah diri seseorang menjadi lebih baik ?” Atas dasar itulah, aku pun berkonsultasi dengan romo parokiku. Dalam konsultasi itu, aku mendapatkan banyak hal tentang seminari itu. Namun, hal-hal tersebut belum bisa menghilangkan rasa penasaran di dalam diriku. Suatu kali, ada seorang temanku menawariku untuk mengikuti live-in di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Mendengar tawaran itu, aku pun langsung menerimanya. Dalam live-in tersebut, aku dan teman-temanku yang lain telah mempunyai sedikit gambaran bagaimana kehidupan para seminaris sebenarnya. Di situlah, awal dimana aku mulai tertarik untuk meraskan kehidupan di seminari. Hingga akhirnya pada pertengahan semester II, aku mendapat sebuah informasi dari parokiku bahwa Seminari Menengah Wacana Bhakti membuka pendaftaran siswa baru. Melihatl hal itu, aku pun langsung berkata kepada kedua orang tuaku bahwa aku ingin masuk seminari. Mendengar hal itu, kedua orang tuaku pun sangat menyetujui keinginanku tersebut.

Akhirnya, aku pun mendaftar dan mengikuti tes-tes yang ada. Setelah beberapa minggu menunggu pengumuman, akhirnya ada sebuah surat yang datang kepadaku. Ternyata, surat tersebut berasal dari Seminari Menengah Wacana Bhakti. Ketika aku membuka isi surat tersebut, ternyata isi surat tersebut menyatakan bahwa aku diterima sebagai seminaris di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Mendapati hal itu, aku dan kedua orang tuaku pun menangis bercampur kebahagiaan. Hingga akhirnya, waktu dimana aku dan kedua orang tuaku harus berpisah pun tiba. aku masih ingat bahwa ibuku berpesan kepadaku bahwa aku harus menjadi anak yang dewasa dan berguna. Sepatah pesan itulah yang menjadi semangat tersendiri di dalam diriku. Bagiku, aku telah memilih jalan panggilan ini berarti aku harus bertanggungjawab atas ini semua.

Menyatu sebagai sebuah komunitas

Di Seminari Menengah Wacana Bhakti ini, aku mendapat sebuah nama baru, yaitu Feto. Sebenarnya, pemberian nama yang baru ini mempunyai arti tersendiri. Pemberian nama ini mengungkapkan bahwa seseorang itu telah masuk dalam lingkungan dan temapat hidup yang baru. Dan ini sperti layaknya aku yang menjadi seorang yang baru dengan segala aspek kehidupan yang baru pula. Ya, bagiku ini merupakan sesuatu yang unik dan menarik yang bisa kudapat di seminari ini.

Di seminari ini, aku masuk ke dalam angkatan 22. Di dalam angakatan inilah, aku mempunyai banyak teman yang baru . Awalnya, kami semua ini mempunyai banyak perbedaan , entah itu dari suku, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Namun, berkat pertemuan kami di seminari inilah, kami bisa menjadi sebuah komunitas yang satu. Di sini, kami saling mendukung dan membantu satu sama lain. Sebab, di sini kami memiliki satu tujuan ayng satu dan utama, yaitu menjadi pelayan Kristus. Atas dasar inilah, kami semuasaling menyatu satu sama lain. Bagiku pribadi, ini merupakan hal yang berharga di dalam diriku. lewat hal inilh, aku dibentuk menjadi pribadi yang unggul dan dewasa.

Hadirnya pengalaman-pengalaman baru

“Menjalani hidup refleksi” . Mendengar sepatah kalimat tersebut, mungkin banyak orang merasa malas unutk melakukannya. Namun tidak halnya denganku. Kini buku refleksi dan penalah yang menjadi pengungkap isi hatiku di sela-sela hariku. Setiap harinya, manusia pasti mengalami berbagai kejadian atau peristiwa yang dapat diambil maknanya. Kadang, kejadian atau peristiwa itu datang bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Dalam hidup ini banyak peristiwa menyenangkan ataupun yang kurang menyenangkan. Tetapi, ada baiknya kita mengambil makna dari peristiwa itu agar kita dapat menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran dalam kehidupan kita selanjutnya. Karena itulah ada orang-orang yang menuliskan refleksi dari hidupnya agar semakin hari dapat terbentuk pribadi yang semakin baik. Banyak orang yang tidak menganggap refleksi itu penting, padahal sesungguhnya refleksi itu sangatlah penting untuk perkembangan pribadi kita.

aku sendiri baru menyadari pentingnya refleksi ketika aku masuk ke Seminari Menengah Wacana Bhakti. Disitu, aku diajarkan untuk dapat mengenal diri sendiri melalui refleksi. Pertama-tama, aku tidak terlalu menganggap penting refleksi, tetapi lama kelamaan aku mulai mencoba menulis refleksi dengan sungguh-sungguh dan hasilnya tidaklah buruk. Aku mulai dapat lebih mengenal diriku sendiri. Aku dapat mengambil makna dari setiap kejadian yang berlangsung setiap hari. Aku mulai merasa ada kemajuan yang pesat dari pribadiku. Aku mulai merasa bahwa refleksi merupakan suatu cara yang tepat untukku dalam mengembangkan pribadiku ke arah yang lebih baik.

Tiga bulan pertama di seminari ini, aku mulai menulis refleksi. Kebanyakan refleksi yang aku tulis adalah tentang kerinduanku kepada semua teman-temanku di SMP dulu. Dari hal itu, aku mencoba mengambil makna dari kejadian-kejadian itu. Kesimpulan yang dapat aku ambil adalah kita akan merasa kehilangan orang-orang yang kita sayangi ketika kita sudah mulai jauh dari mereka. Itulah refleksi pertamaku.

Untuk refleksiku selanjutnya, aku mulai mencoba mengambil makna dari rutinitasku di seminari. Saat-saat dimana aku harus bangun pagi dan mengikuti misa pagi, dimana aku harus berani berbagi dengan komunitasku. Kelihatannya hal-hal seperti ini hanyalah suatu hal yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tetapi, jika aku mengambil makna dari apa yang ada dibalik semua aktivitas ini, maka akan terdapat banyak sekali makna hidup yang dapat aku terapkan untuk membentuk pribadi yang lebih baik. Memang banyak orang yang tidak menyadarinya tetapi janganlah mengikuti yang apa yang salah tetapi ikutilah sesuatu yang tepat. Itulah salah satu dari sekian banyak refleksiku.

Setelah hampir tiga bulan menulis refleksi di seminari, aku mulai melangkah lebih maju soal refleksi. Aku mulai menulis refleksi dengan mengambil makna-makna dari bacaan-bacaan kitab suci. Terkadang ada bacaan injil yang sulit dimengerti, tetapi jika aku memperdalam dan mencoba untuk mengerti arti dari bacaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan berguna untuk kehidupanku yang akan datang. Aku menjadi lebih bisa mengambil sikap dalam setiap masalah dan persoalan yang ada. Aku dapat lebih mengerti kapan aku harus bersikap tegas, halus, dan sikap-sikap lainnya yang harus aku berikan dalam setiap permasalahan hidupku. Janganlah menjadi sosok yang ditakuti, tetapi jadilah sosok yang dihargai dan disegani. Itulah salah satu dari refleksi-refleksiku.

Sekarang ini aku telah hidup selama hampir lima bulan dan aku masih tetap menulis refleksiku. Aku akan berusaha untuk tetap menulis refleksi karena lewat refleksiku, aku dapat melihat dan mengenal lebih jauh pribadiku sendiri. Refleksi dapat menjadi cermin diriku dalam menjalani kehidupan ini. Dengan refleksi, aku dapat mengoreksi kesalahan-kesalahanku dan memperbaikinya agar aku dapat membentuk pribadi yang lebih baik lagi untuk menjadi sosok yang dihargai dan disegani. Buku refleksi juga dapat menjadi teman dalam segala keadaan yang ada. Ketika aku tidak tahu kepada siapa saya harus bercerita, aku dapat menuliskannya dalam buku refleksi. Karena seperti apa yang dikatakan Socrates “Hidup yang tidak diperiksa, maka tidak pantas dihidupi” Maka dari itu, periksalah hidup kita lewat refleksi agar hidup kita menjadi pantas dihidupi. Bagiku, kegiatan refleksi memberikku banyak inspirasi dalam menjalani hidup ini. Terlebih, refleksi dapat menjadi temanku unutk menuangkan segala pengalaman yang terjadi di dalam diriku.

Di seminari aku mulai mengenal peregrinatio. Peregrinatio yang kulakukan pertama kali yaitu berjalan kaki dari seminari menuju paroki Gabriel. Pulogebang. Saat itu, tepatnya pada jam tiga sore, aku bserta komunitas Seminari Wacana Bhakti melaksanakan Peregrinatio. Dalam peregrination tersebut dibagi beberapa kelompok dengan tujaun yang berbeda-beda. Kebetulan, aku mendapat tujuan ke deknat timur. Aku dan kelompokku penasaran dengan paroki tersebut. Sebab, sebelumnya paroki-paroki yang akan dituju itu dirahasiakan oleh para pamong. Sebelum berangkat, semua frater memberikan pengarahan kepada setiap kelompok. Setelah memberikan pengarahan, setiap kelompok pun melakukan pemanasan terlebih dahulu. Aku yang masuk dalam deknat timur, sangat semangat sekali mengikuti kegiatan ini. Pada saat itu, cuaca kurang mendukung kegiatan ini. Tetapi walaupun begitu,aku tetap bersemangat. Akhirnya, setelah beberapa menit melakukan persiapan, aku beserta teman-temanku pun memulai perjalanan. Setelah berjalan beberapa meter, aku tidak meraskan apa-apa. Namun, semakin jauh aku berjalan, aku mulai merasa pegal-pegal pada sendi kakiku. Tetapi, itu tidak membuatku berhenti berjalan. Semua orang yang aku lewati memandang ke arah kelompokku. Setelah berjalan beberapa kilo meter, tiba-tiba saja hujan semakin deras dan kami pun memutuskan unutk berteduh sejenak di bawah jembatan pennyeberangan. Saat aku dan kelompokku sedang berteduh, tidak sengaja kelompokku melihat kelompok lain dengan semangatnya berjalan di tengah hujan yang cukup deras. Melihat hal itu, Fr. Hepi yang menjadi pemandu kelompokku, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah beberapa jam berjalan di bawah hujan, Fr. Hepi pun memutuskan istirahat sejenak sembari menikmati makanan kecil dipinggir jalan. Setelah sejenak beristirahat, Fr. Hepi pun menyuruh kelompokku untuk melanjutkan perjalanan. Setelah jauh berjalan, siang pun berganti malam. Aku dan beberapa temanku mulai merasa tegang di bagian kaki. Sejenak, Fr. Hepi pun merenggangkan otot-otot kakiku dan beberapa temanku. Setelah cukup baik, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Dalam perjalanan itu, aku masih sangat penasaran dengan paroki yang akan kutuju. Dalam hatiku, aku mulai menerka-nerka paroki tersebut. Karna saat itu perjalananku mulai mengarah ke Bekasi, aku pun mulai menerka bahwa paorki tersebut ialah paroki Arnoldus Bekasi. Namun, terkaanku salah. Sebab, setelah beberapa meter, kelompokku mulai berubah arah menuju Buaran. Melihat hal itu, aku pun mulai bingung. Dan setelah beberapa jam berjalan, ternyata aku baru sadar bahwa aku mengarah ke paroki Gabriel, Pulogebang. Sesampainya di sana, aku dan teaman-teman pun disambut meriah oleh beberapa umat. Bagiku, Peregrinatio menjadi sebuah gambaran bahwa hidup panggilanku ini penuh dengan rintangan. Maka dari itulah, aku harus tetap berusaha mempertahankan panggilanku ini.

Selain itu semua, ada satu kegiatan lagi yang tak kalah menariknya, yaitu rekoleksi. Rekoleksi ini biasanya dilaksanakan setiap minggu ke V, dimana aku dan para seminaris lainya dapat mengenal lebih jauh macam-macam tarekat atupun diosesan. Bagiku, kegiatan ini juga mendukung sepenuhnya hidup panggilanku. Sebab, dengan adanya kegiatan ini aku bisa membuat gambaran tentang arah pangilanku nantinya. Maka dari itulah, biasanya bila ada rekoleksi, aku selalu membawa sebuah buku kecil yang kugunakan untuk menulis segala yang kuanggap penting. Sebab, dengan catatan-catatan kecil itulah, aku bisa mempunyai data yang jelas untuk diriku.

Di seminari, aku sungguh beruntung sekali. Sebab, segala sesuatu yang belum pernah kudapatkan sebelumnya, kini bisa kudapatkan di sini. Ada suatu perubahan yang benar-benar terjadi di dalam diriku. Contohnya saja dalam bermain musik. Jujur, sebelum masuk seminari, aku tidak mengerti sama sekali tentang musik. Bahkan, aku tidak menyukainya sedikitpun. Namun, ketika aku masuk seminari, aku merasa musik menjadi bagian dari hidupku. Aku beruntung bahwa aku bisa mendapatkan pengetahuan tentang musik. Terlebih, aku bisa bermain musik dalam sebuah grup orchestra di sini. Lewat hal ini, aku bersyukur bahwa aku masih bisa diberi kesempatan seperti ini. Dan, lewat kesempatan inilah aku berusaha mengembangkan diriku menjadi pribadi yang unggul.

Mengakhiri masa-masa persiapan

Sedikit mengingat kembali ketika aku memutuskan untuk masuk ke seminari. Dalam hal itu, ada sebuah tujuan yang ingin kucapai, yakni mengolah jiwa pelayanan di dalam diriku. Hingga akhirnya aku sungguh menjadi seorang seminaris yang benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup di seminari. Bagiku sendiri, ini adalah sebuah kesempatan awal untuk mewujudkan apa yang ingin kucapai tersebut.Awal hidupku di seminari dimulai ketika aku menjalani hidupku di dalam masa-masa persiapan sebagai seorang yang baru. Dalam masa-masa inilah, banyak hal-hal baru yang kudapat entah itu yang menyenangkan maupun sebaliknya. Namun, aku mencoba melatih diriku untuk menjadi orang yang menerima segala sesuatu dengan apa adanya. Memang, walaupun terasa berat, tetapi aku tetap berusaha menjalani itu semua dengan sepenuh hati.

Dan kini tiba sudah waktunya dimana aku harus mengakhiri masa-masa persiapanku dan mencoba melngkah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Dalam proses ini, ada satu hal yang ingin aku olah dalam diriku, yakni menumbuhkan rasa bertanggung jawab. Aku baru sadar bahwa selama ini aku kurang bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di sekitarku, entah itu di dalam ataupun di luar diriku. Bagiku sendiri orang yang mau bertanggung jawab adalah orang yang berani mengambil segala risiko yang ada dari apa yang telah ia putuskan. Sebab, mengambil kuputusan yang terlihat ringan pun tidak terlepas dari segala risikonya. Begitupun dengan panggilan yang yang telah kujalani saat ini. Aku telah memutuskan itu semua dan aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah kuputuskan sendiri.

Naik ke tingkat yang lebih tinggi masih belum merupakan suatu kepastian. Ini semua tergantung bagimana para staff memutuskan itu semua. Namun, bila ditanya “ layakkah aku naik kelas? “ aku akan langsung menjawab” Ya, aku layak “. Dalam hal ini, aku mencoba menjadi seseorang yang optimistis. Bila melihat kembali diriku ke belakang, ketika aku masih mengawali hidupku di seminari ini, aku berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti alur kehidupan di seminari. Namun, aku sadar bahwa tidak sepenuhnya aku mampu mengikuti alur itu dengan baik. Terkadang aku justru melenceng dari jalur tersebut.

Di saat pengumuman kenaikan kelas berlangsung, aku sungguh beruntung , sebab aku masih diberi kesempatan untuk terus melanjutakn hidup panggilanku di seminari ini. Romo rektor mengatakan kepadaku bahwa aku telah memenuhi kriteria yang ada. Atas dasar itulah, romo rektor dan para staff lainnya menilai bahwa aku layak naik ke kelas 1 SMA. Mendengar hal itu, aku pun langsung mengabari kedua orang tuaku. Mereka sangat gembira sekali mendengar keputusan tersebut. Dan, dari situlah, awal dimana aku mempersiapkan masa-masa SMAku.

Memasuki SMA Gonzaga

Memasuki kelas 1 SMA di SMA Gonzaga merupakan tantanagn tersendiri bagiku sebagai seorang seminaris. Dalam hal ini, aku sebagai seorang calon imam harus hidup di tengah komunitas Gonzaga yang heterogen. Bagiku, ini semua bukan menjadi suatu beban, tetapi justru menjadi pelatihan tersendiri di dalam hidupku. Dalam komunitas ini, aku tidak ingin menyombongkan diriku sebagai seorang seminaris. Bagiku, aku dan mereka itu merupakan suatu kesamaan. Aku tidak ingin bahwa dengan statusku yang sebagai seorang seminaris, aku justru menghindar dari mereka. Namun, aku berharap aku dan mereka bisa saling mendukung satu sama lainnya. Seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci “ Jadilah garam dan terang dunia “. Sepatah kata itulah yang mengungkapkan bahwa sebagai suatu kelompok kita harus saling membantu dan melayani satu sama lain. Maka dari itu, aku berharap bahwa ada timbal balik antara aku yang adalah seorang seminaris dengan anak-anak Gonzaga. Setidaknya, aku dan mereka bisa saling membantu dan menyemangati.

Pertama kali aku mengikuti pelajaran di Gonzaga, aku merasa biasa-biasa saja. Namun, setelah beberapa bulan, terkadang aku justru merasa keteteran. Hal ini disebabkan karena aku harus menyesuaikan jadwalku di seminari dengan jadwalku di SMA Gonzaga. Terkadang, aku bingung harus membagi waktuku. Jujur, aku adalh seorang yang tidak efektif dalam membagi waktu. Namun, setelah aku memperbaiki diriku untuk menjadi seorang yang pandai mengatur dan menghargai waktu, aku pun perlahan-lahan mulai terbantu. Walaupun terkadang aku merasa sangat lelah menjalani hari-hari yang ada, tetapi aku tetap menerima semuanya itu dengan apa adanya. Bagiku, biarlah semuanya mengalir dengan semestinya.

“ Jamabore “. Ya . kegiatan inilah yang biasanya ditunggu-tunggu oleh anak-anak Gonzaga pada umumnya. Sebab, bagi mereka ini adalah kegiatan yang menarik, penuh tantangan dan sebagainya. Namun tidak halnya denganku dan para seminaris lainnya. Aku dan para seminaris lainnya mengadakan live-in di tarekat tertentu. Dalam live-in ini, aku dan beberapa temanku memilih Wisma Puruhita sebagai tujuan yang utama. Bila diingat-ingat kembali ke belakang, mungkin ini adalah pertama kalinya aku bisa live-in di Wisma Puruhita. Kedatanganku dan teman-temanku disambut dengan canda tawa bersama para frater diosesan Jakarta. Pertemuan kami ini diawali dengan sebuah perkenalan. Dalam perkenalan ini, kami juga saling berbagi seputar pengalaman kami di seminari. Tak jarang jika ada pengalaman yang menarik dan unik, kami pun mentertawainya. Ya, setidaknya perkenalan ini sudah memperat kebersamaan kami satu sama lain.

Jika ditanya “ bagaimana jadwal harian di Wisma Puruhita?”. Ya, bagiku pribadi jadwal harian di Wisma Puruhita tak jauh berbeda dengan di seminari menengah. Mungkin hanya beberapa kegiatan yang berbeda. Namun bila dilihat realita yang terjadi bahwa para frater di Wisma Puruhita ini memliki waktu bebas yang cukup banyak. Waktu bebas ini sebagai bentuk pelatihan bagi para frater untuk membangun kedewasaannya dalam menggunakan waktu yang ada. Yang menariknya lagi bahwa waktu bebas yang ada kebanyakan digunakan para frater untuk bermain bersama-sama dengan kami. Dan, hal inilah yang mempereerat hubungan pertemanan kami. Maka tak heran jika aku dan teman-temanku sering bercanda dengan para frater layaknya seorang teman dekat. Oleh karna hal itulah, aku pribadi merasa enjoy dan semangat dalam menjalankan jadwal harian yang ada. Apalagi aku dan teman-temanku sudah saling kenal dengan para frater sehingga kami tak canggung lagi dalam menjalankan aktivitas bersama mereka.

Dari jadwal harian yang ada, aku sanagt terkesan dengan adanya kegiatan wawanhati atau bila di seminari lebih dikenal dengan nama colloqeum. Meskipun sudah menjadi seorang frater , ternyata mereka juga memerlukan bimbingan / arahan dari pemimpin mereka. Ya, kalau di Wisma Puruhita ini , Rm. Sandyoko, SJ-lah yang menjadi pembimbingnya. Kebetulan, aku dan teman-temanku mendapat kesempatan untuk wawanhati bersama dengannya. Dalam wawanhati tersebut, aku pribadi mengungkapkan tentang keprihatinanku akan jumlah imam-imam diosesan yang semakin berkurang. Terlebih jumlah imam yang ada belum sebanding dengan jumlah paroki yang ada di DKI Jakarta ini. Melihat hal itu, Rm. Sandyoko, SJ menanggapinya dengan santai. Dia mengatakan bahwa semua itu butuh proses. “ tidak ada yang bisa memaksa atas hal ini dan biarlah semuanya berjalan semestinya”, ujarnya. Ya, sepatah kalimat itu memang patut diungkapakan untuk mengkritsi atas apa yang terjadi saat ini. Bagiku, semuanya itu tidak harus dimulai dari hal-hal yang besar tetapi mulailah dari hal-hal yang kecil. Sebab Allah tidak menilai besar- kecilnya hal tersebut.

Masuk ke seminari tinggi bukan berarti lepas dari namanya 4S ( Sanctitas, Sanitas, Scientia, Societas). Ya, tidak salah lagi, itulah yang kulihat selama live-in di Wisma Puruhita ini. Kehidupan para frater juga diatur sedemikian rupa dengan dasar 4S tadi. Tujuannya agar mereka menjadi pribadi yang kokoh enth dari segi jasmani maupun dar segi rohani.

Dilihat dari aspek kerohanianya, di Wisma Puruhita ini memiliki model kerohanian yang cukup baik. Ada beberapa kegiatan yang mendukung itu semua. Misalnya saja, kegiatan examen. Dalam kegiatan examen ini, para frater diberi kesempatan untuk memnuhi kebutuhan rohaninya,entah itu dengan meditasi, merenung, dsb. Dan, kegiatan ini bukan berupa paksaan tetapi bersifat fakultatif. Itu semua kembali ke dalam diri para frater sendiri, apakah mereka butuh atau tidak?.

Dari aspek studinya, pada hari 1 dan ke-2, aku pribadi tidak melihat bhwa para frater menjalankan hidup studinya. Mungkin, aku hanya sekedar melihat mereka mengikuti pelajaran yang ada, seperti: katekese, spiritualitas, dsb. Kebanyakan waktu mereka digunakan untuk bersama-sama dengan kami. Namun, pada hari ke-3 aku baru melihat bahwa para frater menjalnkan hidup studinya. Melihfat hal itu, aku tidak langsung menganggap bahwa hidup studi para frater itu sangatlah kurang. Namun, mungkin saja bahwa para frater mau merelakan waktu studinya utnuk menemani kami atau mungkin saat itu, mereka sedang mendapat waktu kosong. Jadi kalau hidup studi, aku sendiri belum melihat secara jelas realita yang terjadi.

Dari aspek komunitas, aku pribadi melihat bahwa hubungan antara frater dengan para romo dan para karyawan berlangsung secara harmonis. Bahkan, tak jarang di antara mereka saling bercanda layaknya seorang saudara. Buktinya, para romo sendiri mau berbaur dengan para frater di setiap sela-sela waktu terlebih ketika waktu makan. Walaupun hanya ada 5 orang frater, tetapi mereka bisa membangun suasanamenjadi lebih hidup.

Dan yang terakhir dari aspek kesehatan, aku berpendapat bahwa aspek kesehatan di sisni sudah baik. Apalagi bila dilihat dari segi makanan, hamper semua makanan yang tersedia memenuhi 4 sehat 5 sempurna. Namun, bila dilihat dari keadaan prasarana yang ada, mungkin masih terlihat kurang terawat. Contohnya saja, kondisi WC yang ada masih kurang terawat. Namun, aku menyadari hal itu. Sebab, aku sendiri manyadari bahwa angkatan mereka bisa dibilang sangat sedikit untuk mengurusi lingkungan wisma yang ada.

Bagiku pribadi, setelah mengikuti live-in selama 4 hari 3 malam, aku mempunyai sedikit gambaran bagaimana kehidupan calon-calon imam diosesan. Ya, ternyata kehidupan calon-calon imam diosesan banyak yang mengesankan dalam diriku. Melihat hal itu, sebenarnya aku tertarik masuk diosesan, tetapi aku berpikir bahwa perjalananku masih sangat panjang dan berat. Untuk itulah, aku tidak mau muluk-muluk memilih tarekat ini-itu. Namun, yang terpenting bahwa aku harus menjalani proses panggilanku sekarang ini terlebih dahulu sembari memilah-milah lagi kemana aku harus meneruskan panggilanku ini.

Bila ditanya “ siapa sosok seorang imam bagi dirimu?” ya, aku menganggap bahwa sosok imam adlah sosok orang yang mau bertanggungjawab atas apa yang telah ia putuskan. Dia berani untuk memutuskan/memilih jalan hidupnya berarti dia mau bertanggungjawab atas segala risiko yang akan terjadi pada dirinya. Pelu diingat bahwa segala pilihan sekecil apapun pasti memiliki risikonya masing-masing. Sekarang kembali ke dalam diri kita masing-masing, apakah kita berani menerima segala risiko atas apa yang telah kita pilih ?

Dari pengalaman live-in, aku merasa senagt beruntung sekali. Sebab, selain banyak hal berharga, aku juga mendapat suatu semangat dalam panggilanku. Ya, itu semua kudapat berkat dukungan para frater dan para romo sendiri. Aku berpikir bahwa ternyata masih banyak orang yang membutuhkan pelayanan. Dan, sekarang aku berusaha mencoba menjadi pelayan bagi mereka yang membutuhkannya.

Bagiku pribadi, gambaran seorang imam yang ideal itu bermacam-macam. Namun, menurutku ada beberapa hal pokok yang harus dimiliki seorang imam, yaitu setia dan mau bertanggungjawab. Bagiku tanpa memiliki itu, seorang imam tidak akan mencapai kesempurnaan pelayanannya. Maka dari itulah, mulai sekarang inilah aku mencoba menciptakan itu semua di dalam diriku. Walaupun terkadang aku melenceng dari hal itu, setidaknya aku sudah ingin mencoba menciptakannya di dalam diriku. Satu hal yang kupegang dalam hidupku bahwa sesuatu yang dianggap kecil perlahan –lahan akan berevolusi menjadi sesuatu hal yang besar. Sebab, hal-hal kecil merupakan suatu proses menuju ke hal-hal yang lebih besar.

Mengikuti acara-acara baru di SMA Gonzaga

“Open House Gonzaga dan Gonzaga Festival”. Acara inilah yang menjadi acara terbesar SMA Gonzaga setiap tahunnya. Dalam acara ini, aku banyak mendapat pengalaman baru dan juga menarik. Contohnya saja dalam hal musik orchestra. Ini adalah pengalamanku yang pertama kalinya bisa mengiringi acara-acara ini dengan alunan musik orchestra. Tanpa kusadari bahwa sebenarnya dengan orchestra inilah aku dan teman-teman seminaris telah berpartisipasi atas berjalannya acara ini. Selain itu, dalam acara ini pula aku dan beberapa orang temanku pertama kalinya mengikuti lomba musikalisasi puisi. Dan apa yang kami dapat ? ya, aku dan teman-temanku berhasil menjuarai lomba tersebut.

Di samping semua, acara ini juga membangun hubungan persahabatanku dengan anak-anak Gonzaga lainnya. ya, dalam acara ini, aku pribadi mulai mengenal banyak anak-anak Gonzaga. Atas ini semua, aku sungguh beruntung bahwa aku bisa mengembangkan diriku lewat acara-acara ini. Walaupun aku tidak terlibat penuh dalam kepanitiaan, tetapi setidaknya aku telah berpartisipasi dalam acara-acara yang telah diselenggarakan.

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar