Ambisi Kawan atau Lawan


Judul : Ambisi Kawan atau Lawan

Penulis : Wishnubroto Widarso

Penerbit : Kanisius

Tebal : 62 halaman

Ketika ada seorang remaja berkata kepada remaja yang lain “Hei, kamu itu orang yang ambisius ya!”. Mendengar hal itu, kira-kira apa yang dirasakan remaja yang bersangkutan? Ya, kemungkinan besar remaja yang bersangkutan akan merasa risih dengan perkataan itu. Mengapa ? karena kata ambisius sendiri cenderung memiliki konotasi negatif. Dan dari konotasi negatif itulah biasanya seseorang akan meluapkan segala emosinya. Maka tak salah jika kata ambisius sering dianggap banyak orang sebagai sesuatu yang berlebihan.

Kata ambisi kini umumnya dimengerti sebagai keinginan mencapai sukses dengan cara apa pun, kalau perlu dengan cara yang tidak semestinya dan kalau terpaksa teman pun boleh dikorbankan. Demikianlah kata ambisi atau ambisius kini menjadi kata yang maknanya memburuk. Menurut buku Tatenhove, konotasi negatif kata ambisi muncul sekitar abad ke-15, ketika kata itu muncul pertama kalinya di dalam liberatur Inggris yang memungut kata itu dari bahasa Perancis. Kala itu ambisi berarti ”an eager desire for honor, rank, and position” (”suatu keinginan yang kuat untuk memperoleh kemuliaan, kedudukan, dan jabatan yang tinggi”) Rupanya arti inilah yang lebih populer dan oleh banyak orang dianggap benar. Jita pungut begitu saja arti kata ambisi yang memang cenderung negatif ini dan tidak mengetahui lagi arti aslinya. Arti asli kata ambisi sebenarnya lebih mengarah pada suatu pencapaian terhadap suatu tujuan atau cita-cita yang ingin diraih dengan perjuangan untuk merealisasikannya. Cita-cita serta kerja nyata itu, menurut hemat saya adalah betuk tanggung jawab kita sebagai makhluk paling mulia ciptaan Tuhan.

Bila kita sedikit menengok kamus sebagai sumber informasi yang kaya. Menurut kamus Webster’s Ninth New Colligiate, kata ambisi didefinisikan sebagai “the desire to achieve a particular end or goal” (”keinginan mencapai suatu tujuan atau cita-cita khusus atau tertentu”) Suatu definisi yang netral!

Pada dasarnya, ambisi itu bersifat alamiah (dimiliki setiap orang) dimana ada sebuah tujuan yang ingin dicapai dengan berbagai usaha yang nyata untuk mencapainya. Sebenarnya, tidak semua ambisi yang dimiliki seseorang itu bersifat negatif tetapi juga ada yang sifatnya positif. Jika kita telaah ambisi yang positif, banyak hal yang sebenarnya ingin kita capai tetapi juga dengan berbagai pertimbangan yang ada. Misalnya saja, hadirnya ambisi untuk mengubah dan memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Hal ini sangat berkaitan erat dengan suatu usaha keras untuk meraih itu semua. Contohnya saja, si A ingin kalau masa depannya itu cerah. Maka, dia berusaha sungguh-sungguh akan pendidikan yan sedang dijalaninya saat ini. Sebab, pendidikan menjadi faktor utama untuk mencapai tujuannya itu. Nah, hal inilah yang disebut sebagai ambisi yang sifatnya positif.

Bila tadi ada ambisi yang sifatnya positif, maka sejenak kita sedikit mengenal bagaimana sih ambisi yang sifatnya negatif ? Ya, ambisi dengan sifat inilah yang biasanya lebih dikenal di kalangan masyarakat sekarang ini. Ini berarti ambisi yang menempel pada orang-orang yang mempunyai sikap mental negatif. Lihat saja, ambisi yang menempel pada orang yang egois akan mendorongnya melakukan segala cara, tidak peduli apakah cara itu merugikan orang lain atau tidak.orang itu tidak segan-segan mengeksploitasi atau menggunakan orang lain untuk memuaskan dirinya sendiri. Ambisi yang menempel pada orang yang perfeksionis akan dijadikan suatu tujuan yang sempurna, yang tanpa cacat atau cela sedikit pun. Ambisi lalu merupakan sesuatu yang ekstrem dan tidak tergapai. Seharusnya, kita tak perlu menjadi frustasi dan sedih berkepanjangan kalau kita tidak bisa mencapai kesempurnaan. Mungkin ada baiknya kita ingat bahwa kesempurnaan hanya ada pada Tuhan, bukan manusia. Pada orang yang kecanduan kerja (workholic) ambisi menjadikannya manusia yang tidak utuh atau imbang karena hidup dipandang hanya sebagai kerja. Saat senggang atau santai hanya dianggap sebagai angin lalu semata. Biasanya orang yang seperti ini akan menjadikannya lebih menderita stress. Hidup ini hanya dianggap sebagai perlombaan yang keras untuk mendapatkan keuntungan semata tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang lainnya.

”Pupuk” ambisi

Ambisi menurut ungkapan Alder, secara alamiah sebenarnya bersemayam di dada setiap orang. Kalau kita pernah mendengar salah satu puisi Alexander Pope ”harapan senantiasa bersemi abadi di dada manusia”, barangkali kita boleh mengatakan bahwa ambisi pun bersemi abadi di dada manusia. Namun ada sesuatu yang merangsang atau mendorong tumbuh suburnya ambisi tersebut. Bak tanaman yang mempunyai potensi hidup namun butuh pupuk untuk menjadikannya tumbuh subur.

Ada dua macam ”pupuk” yang dapat merangsang ambisi untuk tumbuh subur. ”pupuk” yang pertama adalah keadaan buruk, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya. Keadaan buruk ini menantang dia untuk mengubah atau memperbaikinya. ”Mengubah” atau ”Memperbaiki” di sini bisa bersifat individual atupun komunal. ”Pupuk” kedua yang dapat menyuburkan ambisi adalah keadaan baik, baik dalam diri seseorang maupun lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, keadaan baik itulah yang merangsangnya untuk meningkatkan diri lebih baik lagi, mendekati sempurna kalau mungkin. Ambisi untuk menjadi lebih baik dari keadaan yang sudah baik.

Dua dokter ahli jantung dari Pusat Ilmu Kedokteran Gunung Zion di San Fransisco, Meyer Friedman dan Ray Rosenman menemukan istilah tipe A dan tipe B. Dasar penggolongannya adalah besarnya kemungkinan seseorang terkena penyakit jantung. Menurut mereka, tipe A mempunyai kemungkinan besar untuk terserang penyakit jantung dibandingkan tipe B. Mengapa demikian ? Ya, sebab tipe A mempunyai ciri-ciri agresif, kompetitif, tidak sabar dan selalu tergesa-gesa. Dengan kata lain, orang tipe A selalu hidup dalam kungkungan stress. Sama seperti kaum workholic, orang tipe A ini cenderung ingin menjadi yang nomor satu, yang terbaik, yang terdepan. Dan untuk mencapai apa yang diinginkannya, orang tipe A selalu bekerja ekstra keras. Kalau diibaratkan listrik, orang tipe A ini selalu bertegangan tinggi. Karenanya dia sangat terbuka terhadap serangan penyakit jantung.

Kaum workholic bisa saja mempunyai jantung yang baik, dalam arti bahwa dia terbuka terhadap serangan penyakit jantung. Kalau dia jatuh sakit mungkin sekali itu diakibatkan oleh kelelahan. Satu hal lagi yang membedakan kaum tipe A dengan kaum workholic. Menurut penelitian Friedman dan Rosenman, kaum tipe A ini cenderung banyak makan, merokok, dan minum (minuman yang beralkohol). Kecenderungan ini tidak menandai kaum workholic

Jika dipikir-pikir, siapa sih yang melarang orang untuk sukses atau hidup bahagia ? Tidaklah ada bukan. Ambisi untuk sukses itu wajar. Tetapi sayang banyak orang yang tidak tahu apa sukses dan kebahagiaan itu sebenarnya. Mereka mengira bahwa sukses itu berhubungan dengan banyaknya harta-benda atau tingginya kedudukan sosial dan martabat yang dipunyai oleh seseorang. Padahal sukses bukanlah soal kemuliaan duniawi. Sukses adalah soal komitmen- seberapa jauh seseorang melakukan bidang yang dipilihnya dengan cinta dan kesungguhan, serta apakah dia bisa sampai pada tahap pencapaian tertentu. Dan banyak pula orang yang mengira bahwa kebahagiaan datang dari luar diri. Dengan kata lain, banyak yang mengira bahwa kebahagiaan itu ”mendatangi” kita. Karena pandangan yang salah ini banyak orang mati-matian berusaha memiliki seseorang atau sesuatu benda atau barang karena mengira bahwa orang atau barang itulah pembawa atau sumber kebahagiaan mereka. Sebenarnya, kebahagiaan itu datangnya dari dalam diri setiap orang. Suatu usaha dari dalam yang melibatkan seluruh kepribadian orang itu. Jadi bukan soal penampilan saja dan bukan pula soal memiliki seseorang atau sesuatu. Jadi, sukses itu tidak ditentukan oleh apa yang kita kerjakan tetapi bagaimana kita mengerjakan itu. Kalau kita mengerjakan bidang pekerjaan yang kita pilih secara bebas itu dengan rasa cinta, kesungguhan, dan kita bisa sampai pada taraf pencapaian tertentu, itulah yang dinamakan kesuksesan!

Kini kita hidup dalam era reformasi. Memang benar. Coba lihat betapa banyaknya surat kabar dan majalah, juga buku yang diterbitkan. Dan media masa elektronik pun menyiarkan sekian banyak acara, baik yang bersifat informatif maupun yang bersifat hiburan. Itu berarti ada ribuan informasi yang tiap hari ditawarkan kepada kita. Sementara orang beranggapan bahwa kalau kita ingin maju, kita harus menyerap sebanyak-banyaknya informasi tersebut. Ini tidak benar. Yang benar adalah bagaimana kita menyeleksi sekian banyak informasi itu untuk memperkokoh daya nalar kita, agar kita mempunyai pemikiran dan penilaian yang bebas dan asli (orisinal).

Adalah wajar kalau orang ingin populer. Sebenarnya dalam arti luas setiap orang itu populer-dia dikenal oleh lebih dari satu orang dalam komunitas dimana dia hidup. Dan dia, mau tidak mau harus menjadi anggota suatu komunitas diamana dia hidup, karena manusia pada dasarnya makhluk komunal. Tetapi ada orang tertentu yang berambisi menjadi populer- ingin dikenal oleh banyak orang dalam komunitas lebih luas. Sering orang dalam komunitas ini menempuh berbagai macam cara, kalau perlu asal aneh, untuk populer. Popularitas, sebenarnya adalah produk samping dari karya kita. Kita mesti menampilkan dulu karya kita yang baik dan bermutu sebelum mengharapkan popularitas. ”Instant popularity” yang dihasilkan dengan cara asal aneh hanya berumur sesaat dan tidak ada nilainya sama sekali. Alangkah baiknya yang kita utamakan terlebih dahulu adalah karya kita. Kalau karya yang kita persembahkan bahkan kepada sesama kita memang baik dan bermutu, kita akan mennjadi populer denga sendirinya. Kita setidaknya ingat bahwa popularitas itu adalah ”produk sampingan” dari karya kita. Yang menjadikan kita populer adalah karya kita, bukan perilaku aneh atau atribut nyentrik kita.

Lihat saja Affandi, ia memang bersarung dan berkaos oblong kemana-mana, tetapi itu bukan asal aneh. Bersarung dan berkaos itu memberinya keleluasaan dalam melukis. Bisa dibayangkan betapa ia akan merasa terkungkung kalau dia harus melukis dengan pakaian jas lengkap ditambah dasi. Dulu Sardono W.Kusumo pernah berambut panjang sekali. Ia pun bukan asal aneh karena tokoh berambut panjang dibutuhkan dalam tarian-tariannya.

Ambisi untuk populer juga berarti keinginan untuk diterima dalam suatu kelompok yang ”hebat”. Sedemikian besarnya keinginan itu sehingga seseoarng rela melepas kepribadiaannya yang sejati dan asli demi menyesuaikan diri dengan kepribadian kelompok. Kepribadiannya menjadi tidak unik dan orisinal lagi. Kepribadiannya nyaris persis dengan yang lain. Ini tidak benar. Yang sepatutnya kita perjuanggkan adalah penerimaan diri sendiri dan kesadaran bahwa diri kita ini unik. Inilah yang perlu kita pertahankan. Jangan kita melakukan sesuatu begitu saja hanya karena orang lain melakukannya.

Jawaban Atas Pertanyaan Diri :

1) Selama ini banyak dari teman-temanku yang berkata kepadaku ” To, cara belajar lo tu lebay banget sih ”. Ya, memang kusadari bahwa aku pribadi sangat bersemangat kalau dalam hal belajar. Dari hal ini, ada satu pertanyaan yang belum terjawab dalam diriku, mengapa teman-temanku berkata seperti itu kepadaku, padahal semangat dalam belajar itu kan baik ?

v Akhirnya, dalam buku ini aku menemukan jawaban yang tepat bagi diriku. Bila aku diposisikan di dalam buku ini, aku ini dianggap sebagai seseorang yang berambisius. Dalam hal ini, aku cenderung ingin mendapatkan suatu yang sempurna dalam proses belajarku. Terkadang, aku justru mengabaikan banyak hal untuk mendapatkan itu semua dari mulai waktu, kesehatan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, berambisi itu baik tetapi jika berlebihan justru akan mengarah pada hal yang negatif. Dari hal inilah, aku sadar bahwa aku terlalu berlebihan dalam proses belajarku. Mungkin mulai dari sekarang, aku mencoba membuat sebuah keselarasan dalam diriku dimana aku harus mampu menyeimbangkan segala yang ada dalam diriku. Dan aku berharap dengan cara ini tidak ada sesuatu yang terlupakan dalam diriku dan semuanya bisa berjalan dengan semestinya.

2) Sebenarnya, faktor apa yang membuat banyak orang melakukan perilaku-perilaku aneh atau tidak lazim untuk dilakukan di depan umum?

v Di dalam buku ini dikatakan bahwa setiap orang, kalau dia jujur, akan mengakui bahwa dia ingin populer atau ingin dikenal oleh banyak orang. Sebab, jika dia populer dia akan merasa senang karena banyak orang yang memperhatikannya. Orang macam ini biasanya akan menempuh segala cara unttuk menjadi populer, kalau perlu cara itu asal aneh atau tidak lazim. Orang-orang yang seperti inilah adalah gambaran orang yang berambisius untuk populer dengan cara yang instant. Namun sebenarnya yang dilakukannya itu tidak banyak artinya baik bagi si pelakunya sendiri maupun bagi orang lain. Mereka yang berambisi untuk populer hendaknya ingat bahwa keinginan untuk diterima dalam suatu kelompok tidak selamanya ditempuh dengan cara-cara yang aneh, tetapi alangkah baiknya ditempuh dengan cara-cara yang masuk akal ataupun berarti bagi orang lain. Sehingga kepopuleran yang didapat tidak sekedar dianggap sebagai kepopuleran yang palsu tetapi kepopuleran yang berarti bahkan abadi sekalipun.

0 Responses

Posting Komentar