Tugas etika kebebasan


BAB I
KEBEBASAN SECARA UMUM

Apabila dilihat dari segi umum, sebenarnya kebebasan secara umum sangat sulit untuk dijelaskan. Mengapa kami bisa menyimpulkan begini? Hal ini dapat kami simpulkan karena pengertian kebebasan apabila dijelaskan secara umum itu sangatlah luas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata bebas sendiri adalah ‘lepas sama sekali’  dan dapat juga diartikan sebagai ‘Merdeka’. Dari pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia ini, dapat kita lihat bahwa sebenarnya arti dari kebebasan secara umum adalah bahwa kita bisa lepas dan bebas dari segala macam hambatan.
Pengertian kebebasan secara umum dapat digambarkan sebagai suatu situasi atau kondisi di mana seseorang dapat melakukan segala sesuatu yang diinginkan tanpa ada penghalang atau hambatan yang dibuat oleh orang lain baik itu berupa aturan maupun larangan lisan.  Ketika orang ini bisa melakukan kehendaknya dengan bebas tanpa ada penghalang, maka di sanalah letak kebebasan seseorang. Akan tetapi sebagaimana dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada orang yang bisa bebas sebebas-bebasnya. Pasti ada yang namanya aturan yang mengekang kita. Maka dari itu sebenarnya tidak ada kebebasan yang mutlak karena walaupun kita memiliki kebebasan, kita juga harus menghargai hak-hak orang lain sebagai batas dari dari kebebasan kita. Maka dari itu hal ini saling berakibat satu sama lain karena bila di satu sisi dikatakan bahwa pengertian dari bebas adalah bahwa kita bisa melakukan apa yang menjadi keinginan kita tanpa ada penghalang dan halangan akan tetapi apabila itu dilakukan, maka kita tentunya akan melanggar hak orang lain, karena dengan begitu orang lain tidak akan bebas.
Tapi, dalam kehidupan dewasa ini, kebebasan kemudian diluruskan menjadi keadaan dimana kita bisa melakukan apa yang kita inginkan dengan syarat kita masih dalam aturan yang berlaku dan bersedia bertanggung jawab bila terjadi sesuatu disebabkan apa yang kita lakukan.
Sebenarnya bila kita melihat kepada arti yang kedua yang sudah diluruskan, itu adalah arti yang paling tepat, karena bila tanpa disertai peraturan yang membatasi maka dunia ini tidak akan terkendali karena terlalu banyak orang yang berbuat seenaknya.
BAB II
KEBEBASAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DAN PERGAULAN

Pada dasarnya, eksistensi kebebasan sudah menjadi hal yang esensial dalam kehidupan sosial. Artinya bahwa setiap individu berhak berekspresi dalam setiap aspek kehidupan yang ada. Mereka tak terbatas melakukan apa yang menjadi keinginan mereka, asalkan masih dibatas wajar dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Oleh karena itulah, aturan-aturan dibuat guna mendorong pelaksanaan kebebasan yang baik. Namun faktanya, jaman sekarang makna kebebasan kehidupan sosial atau pergaulan mulai mengarah pada berbagai penyimpangan.
Siapapun dari kita pasti setuju dengan pernyataan bahwa pacaran sudah menjadi semacam budaya di Indonesia. Dikatakan ‘semacam budaya’, sebab aktivitas tersebut sudah tidak lagi dipandang buruk oleh mayoritas masyarakat dan mereka sudah tidak lagi risih dalam melakukannya. Padahal, lewat pacaran ini, para pelakunya sudah terjerumus ke dalam zina dan kemaksiatan-kemaksiatan derivatif dari zina itu sendiri, seperti aborsi janin, membuang bayi yang baru lahir, dan bahkan membunuh ibu dari sang janin lantaran takut dimintai pertanggungjawaban menikah. Dan celakanya, kesemua ini semakin menjadi hal yang biasa kita saksikan di media-media, baik cetak maupun elektronik, bahkan di sebagian tempat,
peristiwa ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Semua bentuk kerusakan moral tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh adanya paham kebebasan yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang disuburkan oleh sistem demokrasi yang diterapkan dalam suatu negara di mana masyarakat tersebut tinggal. Dengan adanya kedua ini, banyak individu khusunya para remaja pada akhirnya terjerumus dalam pergaulan bebas dan ikut dalam arusnya yang kuat.
Kebebasan dan moralitas sering dipandang sebagai dua entitas yang secara hakiki berlawanan. Kebebasan sering dimaknai sebagai ketiadaan ikatan atau batasan. Sedangkan moralitas dan norma-normanya dipandang sebagai pengikat atau pembatas kebebasan manusia. Keduanya dianggap bertentangan dan saling meniadakan. Moralitas dan kebebasan merupakan dua hal yang secara bersama-sama membentuk kemanusiaan. Manusia adalah sekaligus makhluk bebas dan makhluk moral.
Manusia adalah makhluk bebas karena dia tidak terkodifikasi secara khusus. Tindakan manusia tidak dikendalikan oleh naluri-nalurinya secara ketat sebagaimana yang berlaku dalam dunia hewan. Insting tidak khas pada manusia melainkan akal. Ketiadaan insting secara ketat pada manusia menjadikan manusia sebagai makhluk dengan pilihan-pilihan (bebas). Keberakalan di satu sisi menuntun manusia untuk menentukan pilihan-pilihannya dan di sisi lain menuntut manusia untuk mengarahkan pilihan-pilihannya menuju tujuan tertentu yang terarah. Tujuan dari setiap pilihan manusia adalah kebaikan, bukan saja bagi sang individu yang memilih namun bagi semua orang yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengannya. Kebebasan adalah landasan pijak bagi tindakan manusia yang merupakan hasil olah kesadarannya akan dirinya dan manusia lain yang hidup bersamanya demi mencapai tujuannya.
Kebaikan sebagai tujuan yang hendak dicapai membutuhkan arahan dan demi mencapai tujuan itulah manusia membangun norma-normanya. Norma merupakan barometer bagi pilihan-pilihan manusia untuk mencapai tujuannya. Pilihan sadar manusia yang terwujud dalam tindakan membutuhkan norma sebagai pemberi arah. Dalam pengertian itu, moralitas memberikan arti bagi kebebasan, dan sebaliknya kebebasan menjadi bermakna karena dikendalikan oleh moralitas. Kebebasan dan moralitas menjadi semacam perlengkapan yang dimiliki oleh manusia untuk menjaga kemanusiaannya.
Kebebasan seringkali tidak bermakna tanpa kehadiran orang lain, begitu pula dengan moralitas. Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, kebebasan dan moralitas tidak pernah dapat dilihat sebagai dua entitas yang saling meniadakan, sebaliknya saling mengadakan.

2.1 Trend baru kebebasan remaja

Kebebasan pergaulan atau yang sering diistilahkan dalam dunia barat free sex, sudah menjadi isme tersendiri dalam masyarakat kita. Masyarakat atau khususnya bangsa Indonesia sudah terjebak dalam isme-isme yang sudah keluar dari kodratiah ia sebagai masyarakat timur. Individualisme, materialisme, liberalisme dan isme-isme lainnya telah menjadi personality menggantikan watak timur yang sopan, ramah, pemalu, rukun, peduli dan sifat-sifat ideal lainnya yang konon dulu dipegang sangat erat oleh masyarakat kita.
Kenapa bisa jadi seperti itu? Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah seperti membalik kedua telapan tangan. Karena berbagai persoalan yang turut serta sebagai sebab bagai lingkaran setan yang melingkup di dalamnya.
Jika kita menengok fenomena yang berkembang di masyarakat, ada banyak hal isu telah dibentuk oleh media. Salah satu bentuk isu dari bentukan media adalah pergaulan remaja. Pergaulan remaja telah dibentuk oleh media dengan kebebasannya. Sebut misalnya sinetron-sinetron seperti, cinderela, intan, olivia, buruan cium gue, cinta 2020, wajahku paling cakep, pasangan heboh, kawin muda, my heart, romantika remaja dan lain sebagainya, semuanya menggambarkan tentang kebebasan berpacaran dalam lika liku cinta dunia remaja. Parahnya, semua pelaku adalah para remaja yang duduk dibangku SMA dan SMP bahkan ada remaja SD. Trend baru dalam dunia sinetron tersebut, akan berdampak terhadap perkembangan psikis remaja, khususnya dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Banyak remaja yang terhipnotis untuk melakukan apa yang ada dalam tontonan sinetron tersebut. Mereka menjadikan adegan berciuman, berpelukan sebagai hal lumrah dalam dunia pacaran.























BAB III

PELAKSANAAN KEBEBASAN DI INDONESIA


3.1 Pelaksanaan Kebebasan Secara Posistif

3.1.1    Pelaksanaan Kebebasan dalam HAM

            HAM tidak hanya berkaitan dengan proteksi bagi individu dalam menghadapi pelaksanaan otoritas Negara atau pemerintah dalam bidang-bidang tertentu kehidupan mereka,  tetapi juga mengarahkan pada penciptaan kondisi masyarakat oleh Negara dalam mana individu dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Contoh isi dari hak sipil dan politik, sabagai berikut :
1.      Hak untuk menentukan nasib sendiri.
2.      Hak untuk tidak diperbudak.
3.      Tidak boleh dianiaya atau perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan harkatnya.
4.      Bebas atas keamanan dan kebebasan pribadi.
5.      Kedudukan yang sama di hadapan hukum.
6.      Kebebasan berfikir, hati nurani dan agama.
7.      Hak untuk berkumpul secara bebas.
8.      Berpatisipasi dalam kebijakan publik.

Contoh isi dari hak ekonomi, sosial dan budaya :
1.  Hak atas pekerjaan dan mencari nafkah yang layak, syarat pekerjaan yang adil, dan   medirikan serikat pekerja.
2.   Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial.
3.   Hak atas taraf kehidupan yang layak.
4.   Hak atas pendidikan.
5.   Hak atas bebas dari kelaparan , kehausan.
6.   Hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan budaya.
7.   Hak untuk memperoleh manfaat atas kepentingan moral, material dalam karya ilmiah, sastra atau seni yang diciptakannya.
8.   Hak untuk kebebasan peneliti ilmiah dan kegiatan yang kreatif.
9.   Kerjasama bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Hak-hak yang dilindungi oleh UU HAM 39/99 :
1.      Hak untuk hidup (pasal 9)
2.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan(ps.10)
3.      Hak mengembangkan diri(ps.11-16)
4.      Hak memperoleh keadilan(ps.17-19)
5.      Hak atas kebebasan pribadi(ps.20-27)
6.      Hak atas rasa aman(ps.28-35)
7.      Hak atas kesejahteraan(ps.36-42)
8.      Hak turut serta dalam pemerintahan(ps.43-44)
9.      Hak wanita(ps.45-51)
10.  Hak anak(ps.52-660

            HAM hanya dapat dibatasi oleh berdasarkan UU karena sifat dari pembatasan itu untuk dalam rangka penekan hukum. Penangkapan, penahanan, geledah badan, surat dan pemenjaraan di LP adalah pembatasan atas pemerintah UU. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah menghormati, melindungi, menegakkan, dan menjamin HAM setiap individu di Indonesia.

            Sebagian pelanggaran HAM terjadi karena rendahnya pemahaman dan kesadaran HAM, lemahnya supremasi hukum, budaya atau tradisi masyarakat, politik, agama dan ekonomi. Tindak kekerasan terhadap sarana keagamaan dan jemaat Ahmadiyah dilakukan karena motivasi relijius. Kekerasaan terhadap jemaat Ahmadiyah adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan karena Ahmadiyah menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan aliran sesat. Karena pemahaman doktrin agama yang dangkal dan tidak kontekstual. Dalam konteks Indonesia sebagai Negara Hukum, main hakim sendiri baik atas nama agama maupun hukum itu sendiri merupakan perbuatan kriminal  yang melanggar hukum.

3.1.2.Praktik Kebebasan Pers di Indonesia

Sejak era Reformasi, pers di Indonesia dapat bernafas lega dalam alam kebebasan. Gerakan reformasi politik,ekonomi dan social ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.Selama 32 tahun, rezim Orde Baru telah “memanfaatkan” pers atau media massa sebagai alat perjuangan politiknya. Pers telah dipakai sebagai alat propaganda pembangunan ekonomi yang menjadi jargon utama dari rezim Orde Baru.
            Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat, sejak Era Reformasi (1998), media massa memiliki kebebasan yang luas, terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP), dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.
Ada 5 syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat,yaitu:
1.         Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.         Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
3.         Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
4.         Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.         Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi –informasi  yang tersembunyi pada suatu saat.

Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau media, serta didirikannya partai-partai. Dengan datangnya gelombang reformasi, di mana pers telah dibebaskan dari belenggu politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat. Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya (dicabut SIUPP). Banyak media dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik ,baik yang didukung maupun yang diserangnya.Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan usaha media tersebut.
Momentum kampanye Pemilu 1999 telah dimanfaatkan media untuk terbuka dalam pemberitaannya. Kemerdekaan pers yang menjadi landasan pemikiran pokok dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, telah mencerminkan kebebasan pers yang luar biasa. Dalam praktik kebebasan pers pada era Reformasi pers menjadi berani mengungkapkan realitas politik. Dan kebebasan pers yang ada telah merupakan indicator tumbuhnya demokrasi di Tanah Air.
            Praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik penguasa.Pada masa Orde Baru,system pers yang berjalan adalah otoritarian,meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab.Tetapi bertanggung jawab kpada penguasa,bukan kepada masyarakat.Kebebasan pers berjalan dengan lambanatau terbatas,bahkan dirasakan tidak ada  kebebasan pers bagi yang beroposisi dengan penguasa.
            Dalam era Reformasi,melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas.Banyak media suratkabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas,sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut.Namun dalam praktiknya,kebebasan pers masih juga menemui hambatan juridis dan politis.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan media itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa batas.

3.1.3.Praktik Kebebasan Demonstrasi

Di zaman modern seperti sekarang ini pada umumnya hampir semua negara menyatakan dirinya sebagai negara bersistem Demokrasi, termasuk Republik Indonesia yakni sistem pemerintahan yang bersumber pada Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan Rakyat merupakan paham kenegaraan yang menjabarkan dan pengaturannya dituangkan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara, dan penerapan selanjutnya disesuaikan dengan filsafat kehidupan rakyat negara yang bersangkutan. Contoh nyata demonstrasi yang sering kita temui adalah unjuk rasa.
Setiap warganegara yang akan menyelenggarakan unjuk rasa mempunyai hak dan kewajiban yang mestinya harus dipatuhi. Hak dan kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No.9 Tahun 1998. Hak-hak yang dimiliki warganegara dalam menyampaikan pendapat dimuka umum yakni mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, sedangkan kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung oleh warganegara dalam menyampaikan pendapat di muka umum antara lain menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peratuan perundangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan untuk aparat pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia; menghargai asas legalitas; menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan. (Pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998). Selain hak dan kewajiban para demonstran dan para aparatur penegak hukum Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum juga mengatur mengenai pemberitahuan/kepada/aparat/Kepolisian/ini. Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum ini sebelum melakukan kegiatan diharuskan untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No.9 Tahun 1998, antara lain sebagai berikut: Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri, Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok, Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3X24 (tiga kali dua puluh empat jam) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah didalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Ketentuan-ketentuan tersebut dirasa menghambat ataupun membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum yang telah mendapatkan jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4. masih terdapat satu pasal yang sebagian kalangan menganggap Undang-Undang ini justru menghambat kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum pasal 9 ayat (2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali : di lingkungan istana Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional, pada hari besar nasional.
Disadari atau tidak bahwa kebebasan berekspresi yang terjadi saat ini telah menimbulkan pemahaman yang sedikit melenceng dari yang sebenarnya. Pemahaman yang selama ini berkembang bahwa pada masa reformasi ini kebebasan dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak masing-masing individu tersebut tanpa ada pembatasan-pembatasan apapun juga perlu disadari bahwa Undang-Undang tidak membatasi adanya kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum akan tetapi Undang-Undang bermaksud menjaga tertib sosial yang telah tercipta di masyarakat. Mengenai pemahaman yang berkembang di masyarakat bahwa adanya pemberitahuan sebelum pelaksanaan demonstrasi merupakan bentuk pengekangan dari kemerdekaan berekspresi tidak sepenuhnya benar karena dengan adanya pemberitahuan tersebut aparat keamanan justru harus bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan keamanan terhadap para demonstran maupun pengamanan terhadap keamanan dan ketertiban umum terutama disekitar lokasi yang digunakan untuk kegiatan demonstrasi.

3.2.      Pelaksanaan Kebebasan Secara Negatif

3.2.1    Kebebasan Beragama
Agama diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya atau dapat pula berkembang dari suatu sistem kepercayaan melalui keyakinan pribadi yang mengalami proses evolusi hingga melahirkan konstruksi keyakinan dan pemikiran yang “khas” dari tiap-tiap individu maupun kelompok. “Kekhasan” ini melahirkan perbedaan agama, pemahaman agama, hingga ekspresi keberagamaan. Dan, karena posisi agama menempati ruang perbedaan konstruktif akibat pilihan sadar manusia dalam mencapai, menginternalisasi, dan mengekspresikan kebenaran. Maka beragama dan keberagamaan menempati ruang bebas pilihan manusia, Kebebasan beragama sebagai konsekuensi logis pilihan bebas manusia dalam menempuh jalan kebenaran, mencakup kebebasan memilih agama -termasuk pindah agama, kebebasan memahami ajaran agama termasuk berafiliasi pada pemahaman agama tertentu, serta kebebasan dalam mengekspresikan serta menjalankan praktek-praktek keberagamaan (beribadah). Dalam pendekatan psikologi, kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan akan aktualisasi diri dan transendensi diri. Dalam proses aktualisasi dan transendensi diri tersebut, manusia berpijak pada pandangan dan keyakinannya akan sebuah jalan kebenaran.
            Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu rumpun hak asasi yang paling fundamental, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dilanggar dalam kondisi apapun, seperti yang tertera pada pasal 4 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan UUD 1945. Namun pada kenyataannya pembatasan hak asasi dasar ini khususnya pada kelompok agama minoritas di suatu tempat masih terus berlangsung, baik lewat pengekangan legal formal, maupun lewat praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara maupun masyarakat umum. Pelanggaran kebebasan beragama juga dilakukan baik berdimensi antar/ inter-agama/ kepercayaan/ keyakinan maupun intra-agama/ kepercayaan.
            Kebebasan beragama juga merupakan pencapaian budaya politik dan hukum. Ini merupakan sebuah kebaikan yang esensial: setiap orang harus mampu secara bebas melatih hak untuk menyatakan dan menjelma, dalam individu maupun komunitas, agama atau kepercayaannya, dalam pribadi maupun masyarakat, dalam pengajaran, dalam praktek, dalam publikasi, dalam peribadatan dan dalam ketaatan ritual. Kebebasan beragama bukan merupakan bentuk eksklusif dari kebebasan beragama, namun merupakan milik seluruh manusia di bumi.
            Bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama terdiri atas dua modus represi, yaitu represi pemikiran dan represi fisik. Represi pemikiran dilakukan dengan modus pembungkaman nalar kritis, menutup pintu ijtihad, membatasi ruang interpretasi terhadap agama, maupun hingga klaim-klaim arogan yang dicaplokkan kepada mereka yang berbeda agama maupun pemahaman. Represi fisik dilakukan dengan modus pemaksaan, intimidasi, hingga terror kepada orang yang berbeda keyakinan agama terkait dengan kebebasan mereka dalam beragama dan menjalankan keberagamaannya.
            Praktek-praktek pelanggaran terhadap kebebasan beragama, tidak hanya terjadi pada lingkup masyarakat “agamis” yang didominasi oleh agama atau pemahaman agama tertentu. Di masyarakat –negara- Sekuler dan komunis, pelanggaran terhadap kebebasan beragama kerap terjadi. Di masyarakat atau Negara “agamis” pelanggaran kebebasan beragama dilakukan kelompok agama dominan dengan menghalang dan memberikan stigmatisasi terhadapi penganut agama minoritas atau kelompok agama yang berpemahaman dan melaksanakan praktek ritus yang berbeda dengan arus dominant. Contoh kongkret, misalnya pengganyangan kaum Ahmadiyah di Indonesia, pengkafiran Syiah, dan sederetan fakta miris lainnya. Di masyarakat, atau Negara sekuler, di mana agama dan praktek keberagamaan dipandang sebagai simbolisasi warisan tradisional yang kolot, sarat mitos, dan penghambat kemajuan. Orang-orang beragama yang taat menjalankan agamanya mendapatkan stigma negatif dan bahkan di Negara tertentu dilarang untuk menampilkan simbol-simbol keagamaannya. Misalnya pelarangan pemakaian jilbab bagi muslimah di Prancis, Inggris, dan Turki.
            Selain itu, dalam UU No.23 Tahun 2006 mengenai Administrasi Kependudukan, individu diwajibkan untuk mencantumkan kepercayaan mereka dalam dokumen hukum seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Atheis yang tentunya tidak memiliki agama, mereka yang ingin untuk tidak mencantumkan apa yang menjadi keyakinannya, dan
mereka yang memiliki kepercayaan di luar enam agama yang ‘diakui’ lantas mengalami diskriminasi, termasuk harus mengalami penolakan dari banyak tempat kerja.
            Sebagai Negara yang telah berkomitmen  terhadap International Covenant on Civil and Political Rights kemudian diratifikasi dengan Undang – Undang No. 12 tahun 2005, maka tidak ada alasan apapun pemerintah untuk tidak melindungi warga negaranya dalam rangka kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana kita ketahui bersama dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pada  Pasal 18 ayat 1 – 3 dan Pasal 20 ayat 2.
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

3.2.2. Kebebasan bergaul atau bersosial

Kita mengenal arti kata pergaulan bebas.Pergaulan bebas adalah suatu tindakan dari para remaja yang sudah kelewat batas menggunakan kebebasannya demi kepentingan dan kepuasan dirinya. Mereka melakukan perbuatan yang mampu membuat dirinya merasa puas,bebas,dan merasa benar. Begitu banyak anak muda zaman sekarang yang menganut pergaulan bebas ini. Mereka terjerat dalam suatu ikatan yang mampu membuat perasaan anak ini merasa terpuaskan.
Dari banyak anak muda yang pernah terjerat dalam pergaulan ini merasa terpuaskan atas tindakan mereka.Meraka masuk dalam pergaulan ini dikarenakan kurangnya pendidikan dan kasih sayang dari orang tuanya dalam hidup mereka.Kadang seorang bapak atau ibu tidak memikirkan sama sekali kepentingan anaknya. Mereka sibuk dengan pekerjaanya sendiri dan anaknya terlupakan.
Dampak yang terjadi jika semua anak muda terjangkit pergaulan bebas memang menakutkan,masa depan bangsa akan hancur jika semua anak mudanya menganut pergaulan bebas. Banyak diantara mereka yang masuk dalam pergaulan ini,mereka merasa bahwa semua yang dilakukannya adalah benar. Dampak yang lebih parah lagi adalah moral anak bangsa menjadi nol,mereka akan berpikiran layaknya orang barat yang sudah terbiasa dengan pergaulan bebas. Negara akan hancur bila generasi mudanya sudah menganut aliran bebas
Sekarang ini zaman globalisasi. Remaja harus diselamatkan dari globalisasi. Karena globalisasi ini ibaratnya kebebasan dari segala aspek. Sehingga banyak kebudayaan-kebudayaan yang asing yang masuk. Sementara tidak cocok dengan kebudayaan kita. Sebagai contoh kebudayaan free sex itu tidak cocok dengan kebudayaan kita.
Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar.

3.3.      Hambatan
           
Ketika kita sedang melakukan suatu aktivitas, etah apapun hal yang kita lakukan pastilah ada saja hambatan ataupun dukungan yang selalu menyertai kita. Rasanya tidak mungkin bila menjalankan suatu aktivitas tanpa suatu hambatan dan dukungan. Anggaplah Seminari Wacana Bhakti adalah sebuah Negara yang mempunyai visi menjadikan semua warganya berpelayanan sebagai seorang imam. Sebagai seorang seminarispun (diandaikan masyarakat dalam sebuah Negara) kami sering megalami goncangan panggilan, timbul keraguan untuk menjadi imam yang penyebabnya adalah berbagai macam hambatan. Terkadang ada hasrat inging bebas, ingin berpacaran dan ingin hidup tidak terkungkung dalam asrama. Ini hanyalah gambaran kecil mengenai sebuah hambatan.
            Hambatan yang tampak nyata di tengah usaha mewujudkan kebebasan bergaul di lingkungan Indonesia adalah timbulnya sikap memilah dalam bergaul. Semua orang tua semakin sadar bahwa dalam dunia pergaulan anakpun dibutuhkan kewaspadaan dalam membimbing anak-anaknya. Disni kebebasan anak dalam bergaul semakin sempit saja, orangtua mengharapkan yang terbaik buat anaknya. Orangtua hanya mengizinkan anaknya bergaul dengan orang-orang yang dirasa saleh dan hanya memperbolehkan pergaulan sehat yang mampu mengembangkan kepribadian anaknya semata. Kini agen sosial teman sebaya bagi anaknya dipandang lebih ketat oleh orangtua, disini orangtua yang bijaksana tentu akan menganggap penting dunia pergaulan anak. Orangtua yang bijaksana tentu tidak mau memandang sebelah mata dalam menentukan ruang batas kebebasan bagi pergaulan anak. Jadi pergaulan sex bebas, hidup foya-foya yang trend dimasa kini telah membuat ruang kebebasan dalam dunia pergaulan semakin sempit. Kebebasan bergaul kini tidak bisa dilakukan sebebas-bebasnya, kita harus bisa memilih pergaulan yang bisa mengembangkan kepribadian kita. Maka dapat dipahami bahwa pergaulan sex bebas dan hidup foya-foya bisa dianggap sebagai penghambat dalam pelaksanaan kebebasan dalam lingkup pergaulan di Indonesia.
            Anekaragam suku di Indonesia memang patut diberi jempol. Keunikan negeri Indonesia adalah ragam budaya, bahasa dan ras. Semua keunikan yang dianggap sebagai kelebihan bagi Negara Indonesia ini ikut mewarnai citra Indonesia dimata dunia. Namun dibalik keanekaragaman ini tersingkap berbagai macam perselisihan. Kadang perbedaan budaya, bahasa dan ras membuat komunikasi antar warga masyarakat menjadi kaku, merasa canggung karena salah sedikit dalam pembicaraan mengenai plularisme yang ada di Indonesia akan menyinggung yang lain dan meyebabkan perpecahan. Disni terlihat jelas bahwa Plularisme memberikan dampak negatif juga bagi kebebasan bergaul. Contoh nyata yang lain adalah perbedaan bahasa akan membuat  komunikasi menjadi sulit, tidak ada bedanya dengan dua orang yang sedang berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang bisa dibilang amatiran. Makin jelaslah bahwa plularisme juga memberikan dampak negatif, bagai jurang pemisah dalam kebebasan bergaul.
            Contoh hambatan lain yang menghambat kebebasan dalam sistem pemerintahan adalah persoalan perizinan pembangungan. Saya salah seorang umat paroki cilangkap, mendapat kesulitan dalam mendapat surat izin pembangunan gereja. Terhitung sejak tahun 2006 kami menunggu surat itu agar disahkan, cukup lama kami menunggu namun surat itu tak kunjung datang. Kami merasa diperlakukan berbeda dengan surat perizinan yang lainnya, berbeda kejadiannya dengan pengusaha yang meminta surat izin dalam pembangunan gedungnya. Para pengusaha cukup menunggu waktu satu tahun saja dan segera surat izin pembangunan gedung ada ditangan mereka, berbeda dengan pemintaan surat izin pembangunan gereja yang dirasa selalu dipersulit dan selalu ditunda-tunda. Diskriminasi sunggu terlihat nyata dalam Indonesia ini, dimana kaum nasrani yang dalam kenyataannya adalah kaum minoritas ini diperlakukan secara berbeda. Kebebasan dalam mendapatkan hak surat izin pembangunan gereja ini dirasa sulit didapatkan. Kebebasan mendapat hak kini dipersulit oleh sang penguasa Negara di tercinta Indonesia ini.

3.4. Solusi
1.      Pemerintah mengadakan dialog lintas agama untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hidup beragama sehingga kebebasan beragama masih bisa diperjuangkan.
2.      Dari pihak pribadi sendiri, harus menyadari pula bahwa setiap manusia itu sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua mempunyai martabat yang sama meskipun fisik berbeda-beda sehingga tidak akan ada lagi diskriminasi antar agama, suku, ras, adat-istiadat, dll.
3.      Pemerintah harus bersikap tegas atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masyarakat yang dapat menimbulkan konflik antar agama, misalnya kasus pembakaran gereja atau pertentangan antara 2 agama.
4.      Pemerintah harus bekerja sama dengan baik dengan pihak aparat untuk menegakkan keadilan kepada setiap warga negara secara merata.
5.      Pemerintah harus berani bersikap tegas kepada pelaku-pelaku tindak kriminal yang tidak mendukung adanya kebebasan dalam kehidupan sosial atau pergaulan.
6.      Pemerintah tetap mempertahankan adanya kebebasan pers yang dapat mendukung tersebar luasnya informasi untuk masyarakat.
7.      Rubrik-rubrik yang khusus dibuat untuk pembaca di media massa, misalnya surat atau suara pembaca, juga tetap dipertahankan agar keluhan-keluhan dan inspirasi dari masyarakat dapat tersalurkan dengan baik.
8.      Pemerintah memperjuangkan aspirasi dalam masyarakat yang nantinya akan berdampak baik bagi kehidupan sosial sehingga akan tercipta kebebasan dalam kehidupan sosial yang benar-benar baik.




BAB IV
KESIMPULAN

            Pada dasarnya, pelaksanaan  kebebasan sosial di indonesia di Indonesia sekarang ini sudah berjalan dengan cukup baik. Ini bisa dibuktikan dengan berbagai macam praktek kebebasan sosial yang sudah berjalan di masyarakat. Akan tetapi kebebasan sosial di Indonesia belum bisa dikatakan sempurna karena pada prakteknya masih ada beberapa praktek kebebasan yang dilanggar oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu masyarakat Indonesia masih harus banyak belajar untuk bisa melangkah ke arah yang lebih maju.
            Sebenarnya semenjak masa reformasi, kebebasan sosial di Indonesia sudah berkembang dan termasuk kategori yang cukup baik. Akan tetapi kelemahan masyarakat adalah dimana masyarakat kurang mampu untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai kebebasan yang sudah mulai tertanam, sehingga menyebabkan nilai-nilai tersebut mudah luntur dan lama-lama menghilang.
            Maka hal terakhir yang bisa kami simpulkan adalah bahwa Indonesia sebenarnya masih bisa terus melangkah ke depan melewati konflik-konflik tentang kebebasan yang terjadi saat ini. Yang perlu dilakukan hanyalah terus berefleksi dan tetap mau terbuka dengan perkembangan jaman. Layaknya bola yang menggelinding, ada saatnya kita di bawah dan ada saatnya kita  dia atas.