Mengejar Sang Utama

( Oleh Felix Wahyu Utomo / kelas I )

” Ja, berapa hari sih kita retret ? ” ” Oh, kita retret selama 4 hari 3 malam ”
” yes !!! ” ” kenapa loe, keliatannya seneng banget. ” ” Ya iya lah, soalnya ini waktu yang tepat bagi gua untuk melihat kembali perjalanan hidup gua ”

Mendengar sedikit percakapan di atas, nampak jelas bahwa kesempatan retret kali ini sungguh membawa kerinduan tersendiri dalam diriku. Ketika banyak orang menikmati waktu liburannya untuk bermain, Shopping, rekreasi, dan sebagainya, tetapi tidak halnya denganku dan teman –teman seminaris lainnya. Ya, bisa dibilang pada liburan kali ini, aku dan para seminaris melakukan ” Rekreasi batin ”. Sengaja aku menamai retret ini sebagai rekreasi batin dengan alasan bahwa retretku kali ini benar-benar menjadi kebutuhan utamaku saat ini, maka wajar jika aku benar-benar menjalani retret ini dengan semangat dan penuh harapan.
Ada satu pegalaman sebelum aku melakukan retret ini yang bagiku pribadi memberikan efek positif bagi diriku. “ menjadi ketua Natal 2009 “. Ya, itulah pengalamanku yang pertama sebagai seorang seminaris. Ada yang berkata bahwa menjadi seorang ketua itu enak, santai, dan menyenangkan, karan tugasnya hanya menyruh-nyuruh saja. Namun, itu semua tidak berlaku bagi diriku. Menurutku justru seorang ketualah yang memiliki tanggung jawab yang besar atas berjalannya suatu acara. Dan bukanlah seorang ketua jika kerjanya hanya menyuruh-nyuruh saja, tetapi seorang ketua itu bekerjasama dengan anggotanya sehingga semuanya berjalan dengan semestinya. Nah, hal itulah yang kulakukan sebagai seorang ketua. Dalam posisiku ini, aku diajak untuk merefleksikan “ beranikah aku memikul tanggung jawab itu ?” ya, aku pribadi merefleksikannya dengan tekad dan keberanianku uutk memikul tanggung jawab yang ada. Sebab, dari keberanian inilah, aku dibangun menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berkomitmen.
Jika retretku tahun lalu bertempatkan di St. Clara, namun tidak halnya kali ini. Retretku kali ini memilih Sindanglaya sebagai tempatnya. Di samping itu pula, aku dan teman-teman angkatanku mendapat pendampingan dari Rm. Hendro Subekti, SJ dan Fr. Eko Hadi P. Yang memberikan banyak strategi kehidupan. Hari pertama aku di sana, terus terang aku merasa takut. Sebab, sebelumnya aku mendapat cerita-cerita aneh dari beberapa orang temanku tentang tempat ini. Namun, aku mencoba memberanikan diri dan aku pun merasa santai dan enjoy menjalani retretku ini. Dalam refleksiku ini, aku tidak akan menceritakan semua perasaanku secara detail, tetapi aku lebih ingin mengungkapakan hal-hal apa saja yang benar-benar berpengaruh atas hidupku.
Dalam retretku kali ini, Rm. Hendro memberikan banyak insight yang benar-benar memberikan semangat dan pengaruh yang besar bagi hidupku. Pada awal pertemuan, dia mengajakku dan teman-temanku untuk melihat kembali bagaimana relasi atau hubunganku dengan segala yang ada di sekitarku, entah itu sekolah, teman, ataupun keluarga. Namun karena waktu yang sangat lama sempat terpikir olehku ” ah, membosankan sekali pertemuan ini ”. Namun, setelah megikutinya tahap demi tahap , ya aku dapat menangkap banyak masukan akan pentingnya sebuah relasi itu. Dari hal itu, aku menyadari bahwa relasi itu menjadi faktor terpenting dalam perjalanan hidupku.
Tik....tik...tik...tik, tak terasa suara tetesan air gunung ditambah dengan kicauan burung yang merdu mulai membangunkanku dari tidurku. Udara dingin yang menusuk benar-benar membuatku menggigil tiada henti. Namun, pagi itu merupakan suatu moment yang tak akan kulupakan dalam diriku. Sebab pagi itu, Rm. Hendro mengajakku dan teman-temanku untuk bermeditasi langsung dengan alam terbuka. Dan ini merupakan pengalaman yang pertama kali dalam diriku. Suara-suara alam yang keluar benar-benar kuresapi dalam diriku. Dan, apa yang kudapat ? ya, aku pribadi merasakan bahwa alam mampu membuka kesadaran dalam hati dan jiwaku. Dalam diri, aku berkata ” wah, betapa beruntungnya aku ini bisa mendapatkan kesempatan seperti ini ”
Di samping itu semua, masih ada beberapa hal yang menarik bagiku terlebih berpengaruh atas kehidupanku, yaitu mencoba mengenal bagaimana sih hidup efektif itu, dan apa sih garis bilangan hidup itu. Dimulai dengan mengenal hidup efektif. Menurut Rm. Hendro, hidup efektif merupakan hidup yang pas sesuai dengan kapasitas diriku sebagai ciptaan Tuhan yang baik. Berbicara mengenai hidup efektif, maka secara tak langsung berbicara mengenai pengertian hidup itu sendiri. Bagiku pribadi, hidup merupakan kesadaran manusia akan keberadaannya di dunia ini. Tujuan hidup itu bisa ditentukan jika aku mengenal betul diriku. Meraih tujuan hidup tak semudah membalikkan telapak tangan semata, tetapi perlu sarana atau perlu cara untuk mendapatkannya. Satu hal yang menjadi ukuran hidup menurut Rm. Hendro ” Halalkan segala cara untuk mencapai tujuan, asal bukan jalan dosa ”. Ketika mendengar hal itu, terlintas dalam pikiranku ” wah, benar juga yang diucapkan Rm. Hendro ” dan entah mengapa aku pun langsung menangkap halitu sebagai strategi dalam diriku. Tak ada kata lain dalam diriku selain mencobanya langsung dalam proses hidupku.
Membuat garis bilangan hidup, mungkin sudah kedua kalinya kulakukan. Namun, pada retret kali ini, garis bilanagn hidup yang aku buat hanya terfokus pada satu hal, yaitu untuk melihat kembali apa yang menjadi beban dalam diriku selam ini. Dan itu, kemudian menjadi gambaran bagiku untuk menghilangkan semua itu. Dan dari hal inilah, aku pribadi mendapatkan sebuah kepuasan tersendiri. Sebab, aku mampu mengungkapkannya denga seluruh hatiku dan itulah yang menjadi titik kepuasanku. Walaupun terlihat sepele, tetapi garis bilanagn hidup ini benar-benar memberiku jalan unutk melihat kembali sejarah hidupku.
Di hari terkahir aku menjalani reteret ini, ada sebuah moment dimana aku bersama teman-temanku mencoba mengoreksi diri satu sama lain. Dan hal inilah yang biasa kita kenal dengan sebutan correctio fraterna. Terus terang, hal inilah yang kutunggu-tunggu dalam kesempatan retret kali ini. Mungkin, bila dipikir secara logis, buat apa sih melakukan hal sepreti ini ? ah, hanya mengumbar-ngumbar kekurangan orang saja. Andai saja ucapan ini benar-benar terdengar olehku, mungkin aku langsung tertawa terbahak-bahak. Betapa bodohnya orang itu, pemikiran macam apa yang dimilikinya ? bagiku, tak ada yang namanya mengumbar-ngumbar kekurangan, yang ada justru memperbaiki kekurangan itu sendiri. Ya, itulah yang kurasakan dalam correctio fraterna ini. Aku mengetahui kekuranganku berarti aku mau memperbaiki itu semua. Sebab, dengan mengetahui kekurangan-kekurangan itulah, aku dapat mengetahui hal apa saja yang perlu kuperbaiki. Aku mau memperbaikinya hingga itu semua berevolusi menjadi suatu kelebihan di dalam diriku. Dan itulah yang menjadi prinsip dasar dalam correctio fraterna ini. Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkan diri, tetapi untuk mengubah diriku ke arah yang lebih baik. Satu hal yang kuingat akan ini semua, yaitu bahwa semuanya bisa diubah selagi kit a mampu mengubahnya.
Jika ditanya, bagaimana sih relasi atau hubunganku dengan komunitas dan kedua orang tuaku ? ya, kalau relasiku dengan komunitas sendiri baik-baik saja. Sejauh ini, aku merasa nyaman dengan keadaan komunitasku walupun tidak sepenuhnya begitu. Kalau boleh jujur, aku masih terima atas sikap beberapa teman komunitasku yang bisa dibilang bertentangan jauh dengan status seminaris yang melekat pada dirinya. Maaf-maaf saja, jika terkadang aku pribadi mengharapkan orang itu keluar dari jalur panggilannya. Sebenarnya bukan aku saja yang mengharapkan hal itu, tetapi banyak dari teman-teman komunitasku juga mengharapkan hal itu. Sudah banyak cara yang meraka lakukan untuk merubah sikapnya dari mulai berbicara langsung dengan orangnya, dan masih banyak lagi, tetapi semua itu terasa sia-sia. Sebab, orang itu tetap keras kepala dengan egonya. Dalam refleksiku ini, aku tidak bisa mengungkapkan masalah ini panjang lebar, tetapi aku ingin berbicara langsung dengan pembimbing agar semuanya bisa jelas. Sebab, masalah ini juga merupakan bagian dari kekesalan dalam diriku.
Kalau relasiku dengan orang tuaku, sejauh ini masih baik-baik saja. Namun, kalau ditanya soal komunikasi, mungkin untuk komunikasi langsung sangatlah kurang. Hal ini bukan karena aku di semianri lalu jarang bertemu dengan orang tuaku, tetapi hal in lebih mengarah pada factor keadaan. Ya, beberapa minggu lalu, aku mendapat kabar bahwa ibuku harus pergi ke Yogyakarta untuk menjalani pemulihan atas penyakit yang dialaminya, sedangkan ayahku sendiri harus pergi ke Kalimantan yang dikarenakan factor pekerjaan. Namun, aku sungguh beruntung bahwa mereka tetap perhatian terhadapku. Tak jarang, mereka berbicara denganku walaupun hanya melalui telepon. Nah, di situlah muncul rasa rindu dalam diriku untuk bertemu dengan mereka. Namun, aku mencoba mengerti keadaan ini dan aku tetap menerima ini semua dengan apa adanya. Lebih dari itu, ini semua tak akan kujadiakan penghambat bagi perjalanan panggilanku tetapi kujadikan sebuah pengalaman dan pembelajaran bagi diriku bahwa aku mencoba untuk tidak melulu tergantung pada kedua orang tuaku, toh aku pun sudah dewasa. Dan, kedewasaan inilah yang kujadikan penopang dalam hidupku.
Di akhir refleksiku ini, aku ingin mengungkapkan komitmen di dalam diriku bahwa kemampuan yang kumiliki itu hadir seolah-olah unutk mengangkat segala kekurangan di dalalm diriku. Ingatlah bahwa Tuhan tidak memberikan tantangan yang melebihi kemampuan yang kumiliki. Maka, percaya akan kemampuan diri sendiri itu menjadi entitas yang perlu dimiliki. Andaikata Tuhan bertanya kepadaku ” mampukah engkau percaya akan kemampuanmu, anakku ? ” tanpa ragu-ragu, aku pun langsung menjawab ” ya, aku mampu. Sebab, aku yakin bahwa terangmu selalu hadir di dalam diriku.”