Metamorfosa Menuju Impian

Perjalanan menuju kelas 1
Jika dipikir secara logis, siapa sih yang tidak ingin naik kelas ? ya, semua orang khususnya para pelajar pasti mengharapkan dirinya bisa naik kelas. Namun, unutk mendapatkan itu semua tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi perlu usaha keras untuk meraihnya. Begitu pun aku yang saat ini memposisikan diriku sebagai 2 pribadi, yaitu pribadi sebagai seminaris dan pribadi sebagai pelajar pada umumnya. Ya , masa-masa KPP-lah yang menjadi titik awal perjuanganku untuk bisa naik ke kelas 1 SMA. Saat-saat itu untuk bisa naik ke kelas 1 masih menjadi tanda tanya besar dan itu semua tergantung pada keputusan para staff sendiri. Sedikit mengingat kembali ke belakang, aku sadar bahwa tidak sepenuhnya aku mampu mengikuti alur kehidupan di seminari, tetapi terkadang aku justru melenceng dari alur tersebut. Namun, aku mencoba menjadi seorang yang optimistis yang beranggapan bahwa aku mampu unutk naik ke kelas 1. sedikit keyakinan itulah yang menjadi kekuatanku saat itu. Andaikata aku ditanya “ layakkah aku naik kelas ? “ tanpa ragu-ragu, aku pun langsung menjawab “ ya, aku layak “. Tanda Tanya besar yang muncul dalam diriku saat itu perlahan-lahan mulai mendapat titik temu yang pasti, setelah tiba saat dimana para staff mengumumkan kelulusan baiku dan teman-temanku yang lain. Dan di situlah aku sungguh beruntun bahwasanya aku berhasil naik ke keas 1 SMA. Namun, di tengah-tengah kegembiran itu juga tersirat sebuah kesedihan dalam diriku. Sebab, 4 orang temanku harus rela meninggalkan perjalanan panggilannya karena tidak lolos seleksi. Ya, mungkin itu jalan yang terbaik bagi hidup mereka. Dan aku sendiri yang mendapat kesempatan ini harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

Metamorfosa di kelas 1
“ Proses naik ke kelas 1 bagaikan sebuah kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah “. Ya, ungkapan inilah yang mungkin cocok untuk dilekatkan dalam prosesku ini. Setelah menjalani perjuangan di masa-masa persiapan, akhirnya aku pun berhasil mencapai ke kelas 1. banyak hal-hal baru yang kudapat di kelas 1 ini, mulai dari pertemanan dengan siswa/i Gonzaga, mendapat pelajaran-pelajaran baru, menjadi panitia, dan lain sebagainya. Melihat itu semua rasanya menjadi kebanggaan tersendiri bagiku bisa mendapatkan itu semua. Ada ytang bilang bahwa kelas I itu masa-masa yang berat, apalagi harus menghadapi berbagai tuntutan di Gonzaga maupun di seminari.dalam diri, aku bertanya-tanya “ ah, apa benar itu semua ? bukannya masa-masa di kelas I itu menyenangkan ? “ keragu-raguan mulai timbul dalam diriku. Namun, aku berpikir lebih baik aku mencobanya terlebih dahulu daripada kau mendengar apa kata orang lain yang belum pasti kebenarannya.
Awal aku masuk sekolah, aku merasa enjoy dan santai mendapatkan semua pelajaran yang ada. Namun, dalam komunitas baruku di Gonzaga, aku mencoba menjadi pribadi yang terbuka . terlebih, aku harus menyesuaikan diriku Dalam komunitas yang terbuka ini. Di samping itu semua, aku juga harus membatasi pergaulanku dengan mereka semua. Aku harus ingat bahwa posisiku sekarang terarah penuh pada komunitas seminari bukan pada komunitas Gonzaga. Jadi, mau tidak mau aku harus lebih terarah pada komunitas seminari yang secara tidak langsung membawaku pada tujuan hidupku. Dalam hal ini, bukannya aku membeda-bedakan, tetapi inilah strategi yang kubuat untuk bisa meraih tujuan hidup dalam diriku.
Namun, perlahan-lahan aku mulai merasa kesulitan untuk melakukan srategi tersebut. Itu semua terbukti, ketika banyaknya tuntutan dari gonzaga yang mau tidak mau haru aku selesaikan. Dan disitulah, aku menyadari bahwa aku mulai mengabaikan kepentinganku di seminari. Ya, banyak bukti yang mengungkapkan itu semua. Misalnya saja, aku sering memakai waktu bacaan rohani unutk mengerjakan tugas-tugasku. Jika dipikir-pikir, waktu bacaan rohani itu kan penting bagi seorang calon imam ?. memang benar bahwa waktu bacaan rohani itu sangatlah penting bagi seorang calon imam untuk mengembangkan pribadinya. Aku sendiri menyadari bahwa bacaan rohani itu memberikan inspirasi-inspirasi iman yang bernilai. Aku pribadi merasa bersalah karena telah mengabaikan itu semua. Di sini, aku mencoba terbuka sepenuhnya terhadap diriku. Aku tidak mau mengada-ada akan realitas yang terjadi. Namun, itu semua aku anggap sebagai pelajaran bagiku dan berusaha memperbaikinya untuk ke depannya.
Langkahku semakin berat saja ketika aku harus mampu menyeimbangkan diriku antara di seminari dan di gonzaga. Dan itu terbukti ketika aku harus mengurusi kepanitiaan di seminari ditambah lagi ulangan-ulangan serta tugas-tugas yang datang dari Gonzaga. Aku sendiri merasa kewalahan mengatur ini semua. Namun, aku mencoba dengan berbagai cara dan di situlah aku merasa sedikit terbantu walupun tidak sepenuhnya sempurna. Namun, setidaknya ada usaha yang aku olah untuk mengatur itu semua menjadi lebih rapi dan tertata.
Di saat-saat ini, aku sungguh beruntung. Bahwasanya, di tengah-tengah kesulitan yang aku hadapi, ada sebuah kegembiraan yang tersirat dalam diriku. Ya, kegembiraan itu tak lain berasal dari aspek studiku. Banyak dari teman-temanku yang berkata kepadaku “ Feto, cara belajar lo tuh terlalu lebay “. Selama ini, tematemanku menganggap aku sebagai seorang yang memaksakan kehendak dalam proses studi. Namun bagiku pribadi, itu bukan bersifat memaksa tetapi lebih mengarah pada sebuah semangat. Kalau ingin tahu, semangatku ini tumbuh atas dasar bahwa aku mampu memberikan yang terbaik bagi keluarga dan kedua orang tuaku yang telah mendukung aku sampai saat ini. Di samping itu, keadaan keluarga pulalah yang membakar semangatku ini. Terus terang, keadaan keluargaku saat ini sedang berantakan tak karuan, dan itu terlihat dari segi ekonominya. Nah, di tengah situasi itulah, aku mencoba memberikan sesuatu yang berbedabagi keluargaku. Dan apa yang kudapat atas semangat belajarku ini ? ya, sampai saat ini, aku mendapat hasil belajar yang cukup baik. Dan itu semua telah membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga terhadapku. Maka tak jarang, mereka selalu memotivasikudalam proses studiku ini. Aku hanya bisa berharap bahwa dengan segala usaha dan semangatku ini, aku dapat memberikan yang terbaik bagi keluarga dan kedua orang tuaku.
Di akhir refleksiku ini, aku ingin mengungkapkan komitmen di dalam diriku bahwa kemampuan yang kumiliki itu hadir seolah-olah unutk mengangkat segala kekurangan di dalalm diriku. Ingatlah bahwa Tuhan tidak memberikan tantangan yang melebihi kemampuan yang kumiliki. Maka, percaya akan kemampuan diri sendiri itu menjadi entitas yang perlu dimiliki. Andaikata Tuhan bertanya kepadaku ” mampukah engkau percaya akan kemampuanmu, anakku ? ” tanpa ragu-ragu, aku pun langsung menjawab ” ya, aku mampu. Sebab, aku yakin bahwa terangmu selalu hadir di dalam diriku.”