Metamorfosa Menuju Impian

Perjalanan menuju kelas 1
Jika dipikir secara logis, siapa sih yang tidak ingin naik kelas ? ya, semua orang khususnya para pelajar pasti mengharapkan dirinya bisa naik kelas. Namun, unutk mendapatkan itu semua tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi perlu usaha keras untuk meraihnya. Begitu pun aku yang saat ini memposisikan diriku sebagai 2 pribadi, yaitu pribadi sebagai seminaris dan pribadi sebagai pelajar pada umumnya. Ya , masa-masa KPP-lah yang menjadi titik awal perjuanganku untuk bisa naik ke kelas 1 SMA. Saat-saat itu untuk bisa naik ke kelas 1 masih menjadi tanda tanya besar dan itu semua tergantung pada keputusan para staff sendiri. Sedikit mengingat kembali ke belakang, aku sadar bahwa tidak sepenuhnya aku mampu mengikuti alur kehidupan di seminari, tetapi terkadang aku justru melenceng dari alur tersebut. Namun, aku mencoba menjadi seorang yang optimistis yang beranggapan bahwa aku mampu unutk naik ke kelas 1. sedikit keyakinan itulah yang menjadi kekuatanku saat itu. Andaikata aku ditanya “ layakkah aku naik kelas ? “ tanpa ragu-ragu, aku pun langsung menjawab “ ya, aku layak “. Tanda Tanya besar yang muncul dalam diriku saat itu perlahan-lahan mulai mendapat titik temu yang pasti, setelah tiba saat dimana para staff mengumumkan kelulusan baiku dan teman-temanku yang lain. Dan di situlah aku sungguh beruntun bahwasanya aku berhasil naik ke keas 1 SMA. Namun, di tengah-tengah kegembiran itu juga tersirat sebuah kesedihan dalam diriku. Sebab, 4 orang temanku harus rela meninggalkan perjalanan panggilannya karena tidak lolos seleksi. Ya, mungkin itu jalan yang terbaik bagi hidup mereka. Dan aku sendiri yang mendapat kesempatan ini harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

Metamorfosa di kelas 1
“ Proses naik ke kelas 1 bagaikan sebuah kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah “. Ya, ungkapan inilah yang mungkin cocok untuk dilekatkan dalam prosesku ini. Setelah menjalani perjuangan di masa-masa persiapan, akhirnya aku pun berhasil mencapai ke kelas 1. banyak hal-hal baru yang kudapat di kelas 1 ini, mulai dari pertemanan dengan siswa/i Gonzaga, mendapat pelajaran-pelajaran baru, menjadi panitia, dan lain sebagainya. Melihat itu semua rasanya menjadi kebanggaan tersendiri bagiku bisa mendapatkan itu semua. Ada ytang bilang bahwa kelas I itu masa-masa yang berat, apalagi harus menghadapi berbagai tuntutan di Gonzaga maupun di seminari.dalam diri, aku bertanya-tanya “ ah, apa benar itu semua ? bukannya masa-masa di kelas I itu menyenangkan ? “ keragu-raguan mulai timbul dalam diriku. Namun, aku berpikir lebih baik aku mencobanya terlebih dahulu daripada kau mendengar apa kata orang lain yang belum pasti kebenarannya.
Awal aku masuk sekolah, aku merasa enjoy dan santai mendapatkan semua pelajaran yang ada. Namun, dalam komunitas baruku di Gonzaga, aku mencoba menjadi pribadi yang terbuka . terlebih, aku harus menyesuaikan diriku Dalam komunitas yang terbuka ini. Di samping itu semua, aku juga harus membatasi pergaulanku dengan mereka semua. Aku harus ingat bahwa posisiku sekarang terarah penuh pada komunitas seminari bukan pada komunitas Gonzaga. Jadi, mau tidak mau aku harus lebih terarah pada komunitas seminari yang secara tidak langsung membawaku pada tujuan hidupku. Dalam hal ini, bukannya aku membeda-bedakan, tetapi inilah strategi yang kubuat untuk bisa meraih tujuan hidup dalam diriku.
Namun, perlahan-lahan aku mulai merasa kesulitan untuk melakukan srategi tersebut. Itu semua terbukti, ketika banyaknya tuntutan dari gonzaga yang mau tidak mau haru aku selesaikan. Dan disitulah, aku menyadari bahwa aku mulai mengabaikan kepentinganku di seminari. Ya, banyak bukti yang mengungkapkan itu semua. Misalnya saja, aku sering memakai waktu bacaan rohani unutk mengerjakan tugas-tugasku. Jika dipikir-pikir, waktu bacaan rohani itu kan penting bagi seorang calon imam ?. memang benar bahwa waktu bacaan rohani itu sangatlah penting bagi seorang calon imam untuk mengembangkan pribadinya. Aku sendiri menyadari bahwa bacaan rohani itu memberikan inspirasi-inspirasi iman yang bernilai. Aku pribadi merasa bersalah karena telah mengabaikan itu semua. Di sini, aku mencoba terbuka sepenuhnya terhadap diriku. Aku tidak mau mengada-ada akan realitas yang terjadi. Namun, itu semua aku anggap sebagai pelajaran bagiku dan berusaha memperbaikinya untuk ke depannya.
Langkahku semakin berat saja ketika aku harus mampu menyeimbangkan diriku antara di seminari dan di gonzaga. Dan itu terbukti ketika aku harus mengurusi kepanitiaan di seminari ditambah lagi ulangan-ulangan serta tugas-tugas yang datang dari Gonzaga. Aku sendiri merasa kewalahan mengatur ini semua. Namun, aku mencoba dengan berbagai cara dan di situlah aku merasa sedikit terbantu walupun tidak sepenuhnya sempurna. Namun, setidaknya ada usaha yang aku olah untuk mengatur itu semua menjadi lebih rapi dan tertata.
Di saat-saat ini, aku sungguh beruntung. Bahwasanya, di tengah-tengah kesulitan yang aku hadapi, ada sebuah kegembiraan yang tersirat dalam diriku. Ya, kegembiraan itu tak lain berasal dari aspek studiku. Banyak dari teman-temanku yang berkata kepadaku “ Feto, cara belajar lo tuh terlalu lebay “. Selama ini, tematemanku menganggap aku sebagai seorang yang memaksakan kehendak dalam proses studi. Namun bagiku pribadi, itu bukan bersifat memaksa tetapi lebih mengarah pada sebuah semangat. Kalau ingin tahu, semangatku ini tumbuh atas dasar bahwa aku mampu memberikan yang terbaik bagi keluarga dan kedua orang tuaku yang telah mendukung aku sampai saat ini. Di samping itu, keadaan keluarga pulalah yang membakar semangatku ini. Terus terang, keadaan keluargaku saat ini sedang berantakan tak karuan, dan itu terlihat dari segi ekonominya. Nah, di tengah situasi itulah, aku mencoba memberikan sesuatu yang berbedabagi keluargaku. Dan apa yang kudapat atas semangat belajarku ini ? ya, sampai saat ini, aku mendapat hasil belajar yang cukup baik. Dan itu semua telah membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga terhadapku. Maka tak jarang, mereka selalu memotivasikudalam proses studiku ini. Aku hanya bisa berharap bahwa dengan segala usaha dan semangatku ini, aku dapat memberikan yang terbaik bagi keluarga dan kedua orang tuaku.
Di akhir refleksiku ini, aku ingin mengungkapkan komitmen di dalam diriku bahwa kemampuan yang kumiliki itu hadir seolah-olah unutk mengangkat segala kekurangan di dalalm diriku. Ingatlah bahwa Tuhan tidak memberikan tantangan yang melebihi kemampuan yang kumiliki. Maka, percaya akan kemampuan diri sendiri itu menjadi entitas yang perlu dimiliki. Andaikata Tuhan bertanya kepadaku ” mampukah engkau percaya akan kemampuanmu, anakku ? ” tanpa ragu-ragu, aku pun langsung menjawab ” ya, aku mampu. Sebab, aku yakin bahwa terangmu selalu hadir di dalam diriku.”

"Kursi Roda"


Sudah tiga musim ini, aku duduk di bawah sakura
Hembusan angin semilir mengiringi setiap goresan tanganku
Kuas dan cat warna-warni, kini menjadi temanku
Tak ada lagi yang mau menemani si pincang ini
Terkadang, aku bosan terus menerus duduk di atas kursi roda ini

Sahabatku, aku ingin seperti dahulu, saat-saat dimana
kita berlari bersama, bermain bersama, menedang bola kesana-kemari
Aku rindu sorak-sorai penonton
Sesekali, aku mencoba untuk bangkit, tetapi kakiku lemah
dan sering aku terjatuh dari kursi rodaku
Aku bosan, bukan karena aku tidak mau, tetapi... Ahh sudahlah,

Mengenal Kehidupan Seminari

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang. Sebelum sesorang tumbuh dewasa, keluarga menjadi peranan penting dalam perkembangan seseorang baik secara mental, rohani, iman dan segi lainnya. Lebih dari itu semua, keluarga juga menjadi salah satu faktor pendukung berkembangnya sebuah panggilan di dalam diri seseorang. Maka dari itu, keluarga mempunyai tanggungjawab yang besar atas hal ini.

Seminari Sebagai Lahan Pembenihan

Mendengar kata “Seminari”, apa yang akan kita bayangkan? Secara tidak langsung, kita pasti akan membayangkan beberapa hal yang menonjol, seperti : rutinitas yang padat, karantina dan lain sebagainya. Bayang seperti inilah yang terkadang menghantui kaum muda untuk masuk ke seminari. Melihat hal itu, seminari seolah-olah dianggap sebagai suatu “ Penjara”. Dimana segala hidup mereka diatur sedemikian rupa dengan berbagai susunan kegiatan yang ada. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dibalik itu semua tersirat sebuah tujuan mulia yang ingi dicapai oleh seminari sendiri, yaitu menghasilkan calon-calon imam yang ideal di masa depan.
Dalam hal ini, seminari merupakan tempat persemaian awal panggilan bagi para seminaris. Di seminari, para seminaris diolah secara matang. Tujuannya untuk membangun kepribadian seorang pelayan dalam diri mereka. Tidak hanya itu, kehidupan di seminari juga didasari oleh beberapa aspek yang meliputi sanctitas ( membangun hidup rohani untuk menjalin hubungan dengan Tuhan lewat pola hidup sehari-hari), sanitas ( membangun kesehatan jiwa dan raga yang tangguh), scientia 9membangun semangat hidup studi yang tinggi) dan societas ( membangun relasi dengan berbagai tipe orang dalam satu komunitas). Dengan aspek- aspek hidup inilah para seminaris diolah menjadi pribadi yang unggul dan berkualitas. Selain itu, seminari juga menyediakan sarana-sarana pendukung bagi kehidupan para seminaris dalam mengelolah panggilan pribadi mereka, yaitu: silentium, dan refleksi.
Saat-saat silentium atau keheningan sangat berpengaruh bagi perkembangan diri seminaris sendiri. Suasana silentium inilah yang menjadi kesempatan mereka untuk lebih menghayati panggilan di dalam diri mereka dan sekaligus manjadi saat-saat dimana mereka menyambut kehadiran Tuhan sendiri. Lebih dari itu semua, suasana hening juga menciptakan ketenangan hati di dalam diri mereka.
Hidup berefleksi adalah suatu bagian yang telah melekat erat di dalam diri seminaris. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari. Bagi mereka sendiri berefleksi itu sangatlah penting. Karena apa? Karena dengan berefleksi, mereka diajak untuk mencoba memaknai segala pengalaman hidup mereka sehari-hari. Bahwasanya, refleksi juga membangun seminaris menjadi pribadi yang tenang. Oleh karena hal itulah, hidup berefleksi menjadi suatu kelebihan bagi seorang seminaris sendiri. Dimana dengan hidup berefleksi, mereka dapat mengolah perkembangan diri mereka sebaik mungkin.
“Kejujuran” hal ini mungkin tidak asing lagi bagi para seminaris. Pasalnya, hal inilah yang menjadi keutamaan bagi seorang calon imam. Mengingat bahwa hal itu menjadi suatu keutamaan, seminari sendiri menyikapinya dengan sangat tegas. Coba bayangkan, jika seorang calon imam tidak mempunyai kujujuran? Bagaimana perkembangan hidup Gereja untuk selanjutnya? Melihat hal itu, kejujuran menjadi hal yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan para calon-calon imam. Sebab, hanya dengan kejujuranlah sabda-sabda Tuhan itu dapat diwartakan.

“Melayani tidak harus dimulai dari hal-hal yang besar , tetapi mulailah dari hal-hal yang kecil. Sebab, Allah tidak menilai besar-kecilnya hal tersebut,tetapi menilai seberapa besar ketulusan kita melakukan hal tersebut”

“Merasul Lewat Musik”


“Melatih diri lewat musik” sekilas mendengar hal itu, mungkin bagi kita terasa aneh. Bagaimana bisa menyangkutpautkan sebuah musik dengan pengolahan diri ?. Namun, itulah yang dialami para seminaris Seminari Wacana Bhakti. Mereka secara khusus mendapat pelatihan dalam bermain musik. Setiap seminaris dipilihkan satu instrumen. Tujuannya, agar mereka mampu mengolah makna yang terkandung dalam musik itu sendiri. Hal ini didukung pula dengan adanya sebuah kelompok musik Orchestra di seminari mereka itu. “WBSO” kelompok musik inilah yang menjadi salah satu pendukung para seminaris dalam bermain musik.
Hadirnya WBSO merupakan keuntungan besar bagi para seminaris sendiri. Di sela-sela kesibukan mereka yang cukup padat, mereka bisa merasakan variasi alunan musik orchestra. Namun, hal yang lebih menguntungkan lagi adalah mereka mendapatkan pengajaran tentang musik
langsung dari beberapa musisi professional. Sebut saja bapak Tony Suwandi, Didiek S.S.S, dan Ireng
Maulana. Merekalah yang memberikan pengaruh besar bagi para seminaris dalam bermain musik. Tak disangka bahwa musisi-musisi terkenal seperti mereka masih mau mengabdikan dirinya dalam lingkup seminari. Hal seperti itulah yang dapat disebut sebagai jiwa pelayanan. Walaupun sudah memiliki popularitas yang tinggi, mereka masih tetap bersedia untuk melayani para calon-calon imam ini. Dalam hal ini, melayani itu tidak harus dimulai dari hal-hal yang besar tetapi mulailah dari hal-hal yang kecil. Sebab, Allah tidak menilai besar-kecilnya hal tersebut tetapi menilai ketulusannya.
Penampilan WBSO bukan layaknya sebuah konser musik pada umumnya, tetapi dibalik itu semua ada sebuah tujuan mulia yang tersirat. Kritisnya panggilan di kota Jakarta menjadi salah satu faktor minimnya jumlah imam di KAJ. Melihat hal itu, Seminari Wacana Bhakti yang merupakan satu-satunya seminari di Jakarta, harus berusaha keras mengatasi masalah itu. Oleh karena itulah WBSO didirikan. Kelompok musik inilah yang menjadi alat Seminari Wacana Bhakti untuk menumbuhkan benih-benih panggilan di kota metropolitan seperti Jakarta ini. Alhasil, usaha itu memberikan perubahan yang cukup baik. Berkat usaha tersebutlah, hampir setiap tahun jumlah seminaris yang masuk ke Seminari Wacana Bhakti mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini menandakan bahwa hadirnya WBSO mempunyai andil besar dalam perkembangan jumlah calon-calon imam di KAJ.
Dalam hal ini, musik sudah begitu dekat dalam kehidupan para seminaris Seminari Wacana Bhakti. Namun disamping itu semua, pembelajaran tentang musik bukan bertujuan untuk menumbuhkan jiwa musisi dalam diri seminaris, tetapi musik dalam hal ini sebagai pendorong hidup panggilan para seminaris sendiri. “ Musik juga sebagai salah satu alat yang kita gunakan dalam melatih humaniora dalam diri kita”, ujar Rm.Andy selaku pamong musik Seminari Wacana Bhakti. Musik itu bagaikan hembusan angin. Bila dilihat tidaklah terlihat tetapi bila dirasakan akan memberikan kesegaran dan kenyamanan jiwa.

Menjalani Hidup Refleksi

Menjalani Hidup Refleksi

Setiap harinya, manusia pasti mengalami berbagai kejadian atau peristiwa yang dapat diambil maknanya. Kadang, kejadian atau peristiwa itu datang bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Dalam hidup ini banyak peristiwa menyenangkan ataupun yang kurang menyenangkan. Tetapi ada baiknya kita mengambil makna dari peristiwa itu agar kita dapat menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran dalam kehidupan kita selanjutnya. Karena itulah ada orang-orang yang menuliskan refleksi dari hidupnya agar semakin hari dapat terbentuk pribadi yang semakin baik. Banyak orang yang tidak menganggap refleksi itu penting, padahal sesungguhnya refleksi itu sangatlah penting untuk perkembangan pribadi kita.
Saya sendiri baru menyadari pentingnya refleksi ketika saya masuk ke Seminari Menengah Wacana Bhakti. Disitu saya diajarkan untuk dapat mengenal diri sendiri melalui refleksi. Pertama-tama saya tidak terlalu menganggap penting refleksi.Tetapi lama kelamaan saya mulai mencoba menulis refleksi dengan sungguh-sungguh dan hasilnya tidaklah buruk. Saya mulai dapat lebih mengenal diri saya sendiri. Saya dapat mengambil makna dari setiap kejadian yang berlangsung setiap hari. Saya mulai merasa ada kemajuan yang pesat dari pribadi saya. Saya mulai merasa bahwa refleksi merupakan suatu cara yang tepat untuk saya dalam mengembangkan pribadi saya ke arah yang lebih baik.
Tiga bulan pertama di seminari ini saya mulai menulis refleksi. Kebanyakan refleksi yang saya tulis adalah tentang perasaan kangen saya kepada semua teman-teman saya di SMP dulu. Dari hal itu, Saya mencoba mengambil makna dari kejadian-kejadian itu. Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah kita akan merasa kehilangan orang-orang yang kita sayangi ketika kita sudah mulai jauh dari mereka. Itulah refleksi pertama saya.
Untuk refleksi saya selanjutnya, saya mulai mencoba mengambil makna dari kegiatan-kegiatan rutin saya di seminari. Saat-saat dimana saya harus mengikuti bangun pagi dan mengikuti misa pagi, dimana saya harus berani berbagi dengan komunitas saya. Kelihatannya hal-hal seperti ini hanyalah suatu hal yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tetapi jika saya mengambil makna dari apa yang ada dibalik semua aktivitas ini, maka akan terdapat banyak sekali makna hidup yang dapat kita terapkan untuk membentuk pribadi yang lebih baik. Memang banyak orang yang tidak menyadarinya tetapi janganlah mengikuti yang apa yang salah tetapi ikutilah sesuatu yang tepat. Itulah salah satu dari sekian banyak refleksi saya.
Setelah hampir tiga bulan menulis refleksi di seminari, saya mulai melangkah lebih maju soal refleksi. Saya mulai menulis refleksi dengan mengambil makna-makna dari bacaan-bacaan kitab suci. Terkadang ada bacaan injil yang sulit dimengerti. Tetapi jika saya memperdalam dan mencoba untuk mengerti arti dari bacaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan berguna untuk kehidupan saya yang akan datang. Saya menjadi lebih bisa mengambil sikap dalam setiap masalah dan persoalan yang ada. Saya dapat lebih mengerti kapan saya harus bersikap tegas, halus, dan sikap-sikap lainnya yang harus saya berikan dalam setiap permasalahan hidup saya. Janganlah menjadi sosok yang ditakuti, tetapi jadilah sosok yang dihargai dan disegani. Itul ah salah satu dari refleksi-refleksi saya.
Sekarang ini saya telah hidup selama hampir lima bulan dan saya masih tetap menulis refleksi saya. Saya akan berusaha untuk tetap menulis refleksi karena lewat refleksi saya dapat melihat dan mengenal lebih jauh pribadi saya sendiri. Refleksi dapat menjadi cermin diri saya dalam menjalani kehidupan ini. Dengan refleksi saya dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan saya dan memperbaikinya agar saya dapat membentuk pribadi yang lebih baik lagi untuk menjadi sosok yang dihargai dan disegani. Buku refleksi juga dapat menjadi teman dalam segala keadaan yang ada. Ketika saya tidak tahu kepada siapa saya harus bercerita, saya dapat menuliskannya dalam buku refleksi. Karena seperti apa yang dikatakan Socrates “Hidup yang tidak diperiksa,tidak pantas dihidupi” Maka dari itu periksalah hidup kita lewat refleksi agar hidup kita menjadi pantas dihidupi.

Dewasa dan Sempurna Dalam Kristus

Penulis : J.Darminta, SJ
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2006
Tebal Buku : 46 halaman


Di dalam kehidupan ini banyak tawaran-tawaran duniawi yang terkadang mempengaruhi kita. Kedewasaan yang kita miliki belum mampu menglahkan itu semua. Kesadaran kita untuk bersikap saling melayani dan mencintai pun terkalahkan dengan tawaran-tawaran tersebut. Tidak henti-hentinya mata kita melihat tindakan manusia yang hanya mementingakan kepuasan hatinya sendiri. Sebenarnya kenikmatan duniawi yang manusia lakukan hanya akan membawa mereka pergi jauh tanpa tujuan yang jelas. Manusia cenderung terbawa ke dalam arus duniawi karena iman yang ada dalam diri mereka belum mampu mmembendung itu semua. Maka dari itu, Romo J.Darminta, SJ mencoba mengajak kita untuk menyadari dan memahami arti sebuah kehidupan lewat sebuah buku yang berjudul “ Dewasa dan Sempurna Dalam Kristus “.Buku ini memberikan dorongan bagi kita dalam memahami arti sebuah kehidupan.
Menjadi dewasa dalam hidup dan beriman merupakan keinginan setiap orang. Kesempurnaan hidup dalam kedewasaan terletak di dalam kerendahan hati, kelemah lembutan, dan kesabaran. Buku ini juga mengajak kita untuk merenungkan karisma atau kurnia roh, yang berbeda-beda, kita diajak pula untuk menemukan dan menghayati perbedaan tugas sebagai pelayanan demi terwujudnya hidup cinta persekutuan dan persaudaraan. Selain itu , manusia juga harus mampu membangun jembatan hidup di dalam dirinya. Jembatan hidup yang dimaksud ialah hidup dalam hukum kasih yang menyerahkan nyawanya. Kisah sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus sendiri dapat kita jadikan sebagai suatu dorongan untuk membangun jembatan hidup dalam diri kita.
Yesus sendiri memberikan teladan kepada kita untuk saling mengampuni terhadap siapa pun. Sengsara, wafat, dan kebangkitan yesus sendiri juga dianggap sebagai suatu roh pengampunan.Yesus diutus ke dunia bukan untuk menghukum manusia melainkan menyelamatkan umat manusia lewat penebusannya di kayu salib. Namun, terkadang manusia sendiri lupa akan hal itu. Mereka hanya memikirkan hal-hal duniawi semata. Mereka tidak sadar bahwa di dunia ini Yesus hadir di dalam diri mereka yang tetindas. Kebanyakan manusia hanya mengejar kepemimpinan semata, dan dengan kepemimpinannya itu manusia bertindak semaunya sendiri. Yesus sendiri yang adalah seorang pemimpin kehidupan ini tidaklah berbuat sedemikian rupa tetapi Dia memimpin hidup ini dalam pelayanan yang didasari dengan kelembutan hati dan kesetiaan.
Baik apabila kita membaca buku ini dan mencoba bermeditasi dengan ikon – ikon yang mengungkapkan arti sebuah kehidupan yang nyata. Buku ini juga menyajikan unsur – unsur rohani yang membantu kita dalam memaknai kehidupan ini. Pengungkapan yang disajikan di dalam buku ini juga dapat kita jadikan sebagai bahan permenungan dalam diri kita.

Meraih Harapan Dalam Sebuah Mimpi

Melahirkan hutan di tengah-tengah lautan beton Jakarta mungkin hanyalah sebuah mimpi belaka. Tidak ada yang salah dengan pendapat kecil ini. Jika kita melihat secara nyata kondisi DKI Jakarta saat ini, sekilas kita akan berpikir bahwa konsep ini tidak akan berjalan dengan semestinya. Dipikir secara logis memang tidak masuk akal, Bagaimana bisa melahirkan hutan di tengah tanah yang sudah berlapiskan padatnya beton? Pemikiran seperti ini sungguh menggambarkan bahwa kita adalah orang yang pesimistis. Terkadang kita tidak sadar bahwa untuk mendapatkan suatu perubahan itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi dibutuhkan sebuah proses yang cukup panjang.
Dimulai dari tahun 1980-an, Jakarta yang saat itu masih memiliki banyak lahan-lahan kosong perlahan-lahan berubah menjadi pilar-pilar beton yang berdiri dengan gagahnya. Sungguh disayangkan sekali, bahwasanya harapan kita untuk memberikan perubahan yang lebih baik kepada kota Jakarta perlahan-lahan mulai menghilang. Kembali ke masa lalu, ketika Bapak Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta, ia pernah mencanangkan program kerja “Ijo royo-royo dan burung berkicauan”. Namun, sampai masa kepemimpinannya berakhir, program tersebut belum sepenuhnya selesai. Program kerja Bapak Sutiyoso ini, ternyata tidak dilanjutkan oleh gubernur DKI Jakarta yang baru. Di masa kepemimpinan gubernur yang baru ini, masalah lingkungan hidup kurang diperhatikan. Pasalnya, gubernur DKI Jakarta yang baru ini justru lebih mengedepankan kepentingan jalur transportasi daripada kondisi lingkungan DKI Jakarta sendiri. Hal semacam ini sudah menjadi tradisi bagi pemerintah DKI Jakarta. Bahkan, ada pepatah yang mengatakan “Berganti gubernur berarti berganti juga program kerja”.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) haruslah menjadi salah satu bagian yang erat seiring berjalannya pertumbuhan kota. Bahkan, hal ini didukung pula dengan adanya peraturan daerah dan undang-undang yang melindungi keberadaan fungsi ruang terbuka hijau. Tidak hanya itu saja, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyatakan sikap anti terhadap penebangan pohon yang setiap harinya makin meluas. Banyak pohon yang ditebang hanya untuk mendirikan tiang-tiang monorail yang diyakini dapat mengurangi kemacetan Jakarta. Namun, di balik itu semua terjadilah suatu ketidak seimbangan dalam kota Jakarta. Jakarta saat ini tidak lagi mempunyai daerah resapan air yang cukup. Daerah resapan air yang ada perlahan-lahan telah berevolusi menjadi lautan beton. Jadi, wajar saja bila Jakarta selalu dihantui oleh musibah banjir setiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Urban Poor Consortium (UPC), ibukota Indonesia ini mempunyai luas ± 65.000 hektare yang boleh dikatakan cukup luas untuk seukuran kota metropolitan di Indonesia. Hal ini tidak sebanding dengan luas Ruang Terbuka Hijau yang menjadi daerah resapan air. Pada tahun 2008 saja, daerah resapan air di Jakarta hanya berkisar 6.240 hektare ( 9,6% ). Jumlah yang sangat meragukan bagi lahan di DKI Jakarta untuk menyerap genangan air dalam jumlah besar. Dalam masalah ini, pemerintah sendiri hanya bisa menargetkan ± 9.100 hektare atau sekitar 14% daerah resapan air pada tahun 2010. Padahal menurut undang-undang no. 26 Tahun 2007, luas RTH paling tidak sekitar 30% dari total wilayah kota.
Terkadang kita tidak menyadari bahwa RTH mempunyai banyak fungsi yang secara langsung ataupun tidak langsung akan membantu kelangsungan hidup kita. Secara tidak langsung, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Selain itu, RTH juga bisa menjadi tempat evakuasi apabila terjadi bencana alam di Kota Jakarta. Keberadaan RTH juga menjadi salah satu faktor penting bagi pertumbuhan lingkungan kota. Eksistensi RTH bukan saja manfaat ekologisnya yang besar, tetapi juga manfaat sosial budaya, arsitektur, ekonomi yang signifikan. Sebagaimana mestinya, sebuah kota seperti Jakarta, juga membutuhkan paru-paru untuk bernapas selayaknya manusia membutuhkan paru-parunya sendiri.
Jika kita melihat sejarah kota Jakarta dalam kurun waktu 30 tahun, pemerintah kota Jakarta mengalami kemerosotan motivasi dalam hal mempertahankan jumlah daerah resapan air. Hal ini dibuktikan dengan merosotnya jumlah RTH di DKI Jakarta. Pada tahun 1965-1985 luas RTH di Jakarta masih 37,6%. Kemudian, pada tahun 1985-2000 menyusut menjadi 25,85%, dan dalam satu dekade kemudian luas RTH diperkirakan kembali berkurang menjadi 14%. Namun diluar dugaan, sebelum tahun 2010, luas RTH hanya 9% dari luas total kota Jakarta.
“Keserakahan” menjadi suatu paradigma yang tidak bisa kita pungkiri. Para Pejabat pemerintahan beserta orang-orang berkantung tebal berlomba-lomba untuk menghiasi kota Jakarta dengan menara-menara yang megah buatan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka itu semakin menambah keprihatinan terhadap kota Jakarta. Menurut data pemerintah provinsi DKI Jakarta, tinggi lahan wilayah DKI sekarang hanya berkisar 0-5 meter dari permukaan laut. Hal ini disebabkan karena banyaknya pendirian gedung-gedung bertingkat yang tidak memperhatikan kondisi tata letak yang baik. Kalau tindakan seperti ini terus-menerus menjadi tradisi, Bagaimana bisa kita memberikan perubahan yang lebih baik kepada kota Jakarta?
Masalah tidak hanya berhenti sampai di sini saja, minimnya jumlah lahan RTH juga menjadi masalah yang harus diperhatikan. Jika dilihat secara logis, jumlah lahan bangunan-bangunan justru lebih besar dibandingkan jumlah lahan RTH sendiri. Masalah ini memberikan perubahan fungsi tanah menjadi lebih buruk. Tanah yang seharusnya menjadi daya resapan air perlahan-lahan berubah fungsi sebagai alat penahan tonggak-tonggak beton yang berdiri dengan gagahnya.Hal seperti ini sangat disayangkan sekali, ini menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat Jakarta akan pentingnya RTH masih sangat minim. Seharusnya sebagai masyarakat Jakarta yang baik, setidaknya ada niat yang timbul untuk merubah kondisi DKI Jakarta menjadi lebih baik lagi. Sebab, siapa lagi yang mau merubah kota Jakarta, selain kita sendiri sebagai bagian di dalamnya. Mulailah dengan hal-hal yang kecil, seperti menanam pohon di pekarangan rumah kita sendiri, sebab hal-hal yang kecil itu adalah sebuah proses dalam menuju ke hal yang lebih besar. Sekarang kembali ke dalam diri kita sendiri, maukah kita melakukan perubahan terhadap kondisi Kota Jakarta ?

Sedikit Memandang Jejak Langkahku

Sedikit mengingat kembali ketika aku memutuskan untuk masuk ke seminari. Dalam hal itu, ada sebuah tujuan yang ingin kucapai, yakni mengolah jiwa pelayanan di dalam diriku. Hingga akhirnya aku sungguh menjadi seorang seminaris yang benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup di seminari. Bagiku sendiri, ini adalah sebuah kesempatan awal untuk mewujudkan apa yang ingin kucapai tersebut.awal hidupku di seminari dimulai ketika aku menjalani hidupku di dalam masa-masa persiapan sebagai seorang yang baru. Dalam masa-masa inilah, banyak hal-hal baru yang kudapat entah itu yang menyenangkan maupun sebaliknya. Namun, aku mencoba melatih diriku untuk menjadi orang yang hanya mengeluh dan mengeluh saja. Memang, walaupun terasa berat, tetapi aku berusaha menjalani itu semua dengan sepenuh hati.

Dan kini tiba sudah waktunya dimana aku harus mengakhiri masa-masa persiapanku dan mencoba melngkah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Dalam proses ini, ada satu hal yang ingin aku olah dalam diriku, yakni menumbuhkan rasa bertanggung jawab. Aku baru sadar bahwa selama ini aku kurang bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di sekitarku, entah itu di dalam ataupun di luar diriku. Bagiku sendiri orang yang mau bertanggung jawab adalah orang yang berani mengambil segala resikio yang ada dari apa yang telah ia putuskan. Sebab, mengambil kuputusan yang terlihat ringan pun tidak terlepas dari segala rsikonya. Begitupun dengan panggilan yang yang telah kujalani saat ini. Aku telah memutuskan itu semua dan aku harus bertanggung jawab atas apa ynag telah kuputuskan sendiri.

Naik ke tingkat yang lebih tinggi masih belum merupakan suatu kepastian. Ini semua tergantung bagimana para staff memutuskan itu semua. Namun, bila ditanya “ layakkah aku naik kelas? “ aku akan langsung menjawab” Ya, aku layak “. Dalam hal ini, aku mencoba menjadi seseorang yang optimistis. Bila melihat kembali diriku ke belakang, ketika aku masih mengawali hidupku di seminari ini, aku berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti alur kehidupan di seminari. Namun, aku sadar bahwa tidak sepenuhnya aku mampu mengikuti alur itu dengan baik. Terkadang aku justru melenceng dari jalur tersebut.

Menurut buku The Secret “ pikiran yang baik akan menghasilkan frequensi yang baik pula”. Dari sepatah kalimat itulah, aku belajar menjadi orang yang optimistis dan dari sini pulalah aku yakin atas segala usaha yang telah kulakukan. Apapun keputusanya itu, aku harus menerima itu semua apa adanya. Bagiku yang terpenting, yaitu aku telah mencoba itu semua.