Mengenal Kehidupan Seminari

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang. Sebelum sesorang tumbuh dewasa, keluarga menjadi peranan penting dalam perkembangan seseorang baik secara mental, rohani, iman dan segi lainnya. Lebih dari itu semua, keluarga juga menjadi salah satu faktor pendukung berkembangnya sebuah panggilan di dalam diri seseorang. Maka dari itu, keluarga mempunyai tanggungjawab yang besar atas hal ini.

Seminari Sebagai Lahan Pembenihan

Mendengar kata “Seminari”, apa yang akan kita bayangkan? Secara tidak langsung, kita pasti akan membayangkan beberapa hal yang menonjol, seperti : rutinitas yang padat, karantina dan lain sebagainya. Bayang seperti inilah yang terkadang menghantui kaum muda untuk masuk ke seminari. Melihat hal itu, seminari seolah-olah dianggap sebagai suatu “ Penjara”. Dimana segala hidup mereka diatur sedemikian rupa dengan berbagai susunan kegiatan yang ada. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dibalik itu semua tersirat sebuah tujuan mulia yang ingi dicapai oleh seminari sendiri, yaitu menghasilkan calon-calon imam yang ideal di masa depan.
Dalam hal ini, seminari merupakan tempat persemaian awal panggilan bagi para seminaris. Di seminari, para seminaris diolah secara matang. Tujuannya untuk membangun kepribadian seorang pelayan dalam diri mereka. Tidak hanya itu, kehidupan di seminari juga didasari oleh beberapa aspek yang meliputi sanctitas ( membangun hidup rohani untuk menjalin hubungan dengan Tuhan lewat pola hidup sehari-hari), sanitas ( membangun kesehatan jiwa dan raga yang tangguh), scientia 9membangun semangat hidup studi yang tinggi) dan societas ( membangun relasi dengan berbagai tipe orang dalam satu komunitas). Dengan aspek- aspek hidup inilah para seminaris diolah menjadi pribadi yang unggul dan berkualitas. Selain itu, seminari juga menyediakan sarana-sarana pendukung bagi kehidupan para seminaris dalam mengelolah panggilan pribadi mereka, yaitu: silentium, dan refleksi.
Saat-saat silentium atau keheningan sangat berpengaruh bagi perkembangan diri seminaris sendiri. Suasana silentium inilah yang menjadi kesempatan mereka untuk lebih menghayati panggilan di dalam diri mereka dan sekaligus manjadi saat-saat dimana mereka menyambut kehadiran Tuhan sendiri. Lebih dari itu semua, suasana hening juga menciptakan ketenangan hati di dalam diri mereka.
Hidup berefleksi adalah suatu bagian yang telah melekat erat di dalam diri seminaris. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari. Bagi mereka sendiri berefleksi itu sangatlah penting. Karena apa? Karena dengan berefleksi, mereka diajak untuk mencoba memaknai segala pengalaman hidup mereka sehari-hari. Bahwasanya, refleksi juga membangun seminaris menjadi pribadi yang tenang. Oleh karena hal itulah, hidup berefleksi menjadi suatu kelebihan bagi seorang seminaris sendiri. Dimana dengan hidup berefleksi, mereka dapat mengolah perkembangan diri mereka sebaik mungkin.
“Kejujuran” hal ini mungkin tidak asing lagi bagi para seminaris. Pasalnya, hal inilah yang menjadi keutamaan bagi seorang calon imam. Mengingat bahwa hal itu menjadi suatu keutamaan, seminari sendiri menyikapinya dengan sangat tegas. Coba bayangkan, jika seorang calon imam tidak mempunyai kujujuran? Bagaimana perkembangan hidup Gereja untuk selanjutnya? Melihat hal itu, kejujuran menjadi hal yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan para calon-calon imam. Sebab, hanya dengan kejujuranlah sabda-sabda Tuhan itu dapat diwartakan.

“Melayani tidak harus dimulai dari hal-hal yang besar , tetapi mulailah dari hal-hal yang kecil. Sebab, Allah tidak menilai besar-kecilnya hal tersebut,tetapi menilai seberapa besar ketulusan kita melakukan hal tersebut”
0 Responses

Posting Komentar