Meraih Harapan Dalam Sebuah Mimpi

Melahirkan hutan di tengah-tengah lautan beton Jakarta mungkin hanyalah sebuah mimpi belaka. Tidak ada yang salah dengan pendapat kecil ini. Jika kita melihat secara nyata kondisi DKI Jakarta saat ini, sekilas kita akan berpikir bahwa konsep ini tidak akan berjalan dengan semestinya. Dipikir secara logis memang tidak masuk akal, Bagaimana bisa melahirkan hutan di tengah tanah yang sudah berlapiskan padatnya beton? Pemikiran seperti ini sungguh menggambarkan bahwa kita adalah orang yang pesimistis. Terkadang kita tidak sadar bahwa untuk mendapatkan suatu perubahan itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi dibutuhkan sebuah proses yang cukup panjang.
Dimulai dari tahun 1980-an, Jakarta yang saat itu masih memiliki banyak lahan-lahan kosong perlahan-lahan berubah menjadi pilar-pilar beton yang berdiri dengan gagahnya. Sungguh disayangkan sekali, bahwasanya harapan kita untuk memberikan perubahan yang lebih baik kepada kota Jakarta perlahan-lahan mulai menghilang. Kembali ke masa lalu, ketika Bapak Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta, ia pernah mencanangkan program kerja “Ijo royo-royo dan burung berkicauan”. Namun, sampai masa kepemimpinannya berakhir, program tersebut belum sepenuhnya selesai. Program kerja Bapak Sutiyoso ini, ternyata tidak dilanjutkan oleh gubernur DKI Jakarta yang baru. Di masa kepemimpinan gubernur yang baru ini, masalah lingkungan hidup kurang diperhatikan. Pasalnya, gubernur DKI Jakarta yang baru ini justru lebih mengedepankan kepentingan jalur transportasi daripada kondisi lingkungan DKI Jakarta sendiri. Hal semacam ini sudah menjadi tradisi bagi pemerintah DKI Jakarta. Bahkan, ada pepatah yang mengatakan “Berganti gubernur berarti berganti juga program kerja”.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) haruslah menjadi salah satu bagian yang erat seiring berjalannya pertumbuhan kota. Bahkan, hal ini didukung pula dengan adanya peraturan daerah dan undang-undang yang melindungi keberadaan fungsi ruang terbuka hijau. Tidak hanya itu saja, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyatakan sikap anti terhadap penebangan pohon yang setiap harinya makin meluas. Banyak pohon yang ditebang hanya untuk mendirikan tiang-tiang monorail yang diyakini dapat mengurangi kemacetan Jakarta. Namun, di balik itu semua terjadilah suatu ketidak seimbangan dalam kota Jakarta. Jakarta saat ini tidak lagi mempunyai daerah resapan air yang cukup. Daerah resapan air yang ada perlahan-lahan telah berevolusi menjadi lautan beton. Jadi, wajar saja bila Jakarta selalu dihantui oleh musibah banjir setiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Urban Poor Consortium (UPC), ibukota Indonesia ini mempunyai luas ± 65.000 hektare yang boleh dikatakan cukup luas untuk seukuran kota metropolitan di Indonesia. Hal ini tidak sebanding dengan luas Ruang Terbuka Hijau yang menjadi daerah resapan air. Pada tahun 2008 saja, daerah resapan air di Jakarta hanya berkisar 6.240 hektare ( 9,6% ). Jumlah yang sangat meragukan bagi lahan di DKI Jakarta untuk menyerap genangan air dalam jumlah besar. Dalam masalah ini, pemerintah sendiri hanya bisa menargetkan ± 9.100 hektare atau sekitar 14% daerah resapan air pada tahun 2010. Padahal menurut undang-undang no. 26 Tahun 2007, luas RTH paling tidak sekitar 30% dari total wilayah kota.
Terkadang kita tidak menyadari bahwa RTH mempunyai banyak fungsi yang secara langsung ataupun tidak langsung akan membantu kelangsungan hidup kita. Secara tidak langsung, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Selain itu, RTH juga bisa menjadi tempat evakuasi apabila terjadi bencana alam di Kota Jakarta. Keberadaan RTH juga menjadi salah satu faktor penting bagi pertumbuhan lingkungan kota. Eksistensi RTH bukan saja manfaat ekologisnya yang besar, tetapi juga manfaat sosial budaya, arsitektur, ekonomi yang signifikan. Sebagaimana mestinya, sebuah kota seperti Jakarta, juga membutuhkan paru-paru untuk bernapas selayaknya manusia membutuhkan paru-parunya sendiri.
Jika kita melihat sejarah kota Jakarta dalam kurun waktu 30 tahun, pemerintah kota Jakarta mengalami kemerosotan motivasi dalam hal mempertahankan jumlah daerah resapan air. Hal ini dibuktikan dengan merosotnya jumlah RTH di DKI Jakarta. Pada tahun 1965-1985 luas RTH di Jakarta masih 37,6%. Kemudian, pada tahun 1985-2000 menyusut menjadi 25,85%, dan dalam satu dekade kemudian luas RTH diperkirakan kembali berkurang menjadi 14%. Namun diluar dugaan, sebelum tahun 2010, luas RTH hanya 9% dari luas total kota Jakarta.
“Keserakahan” menjadi suatu paradigma yang tidak bisa kita pungkiri. Para Pejabat pemerintahan beserta orang-orang berkantung tebal berlomba-lomba untuk menghiasi kota Jakarta dengan menara-menara yang megah buatan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka itu semakin menambah keprihatinan terhadap kota Jakarta. Menurut data pemerintah provinsi DKI Jakarta, tinggi lahan wilayah DKI sekarang hanya berkisar 0-5 meter dari permukaan laut. Hal ini disebabkan karena banyaknya pendirian gedung-gedung bertingkat yang tidak memperhatikan kondisi tata letak yang baik. Kalau tindakan seperti ini terus-menerus menjadi tradisi, Bagaimana bisa kita memberikan perubahan yang lebih baik kepada kota Jakarta?
Masalah tidak hanya berhenti sampai di sini saja, minimnya jumlah lahan RTH juga menjadi masalah yang harus diperhatikan. Jika dilihat secara logis, jumlah lahan bangunan-bangunan justru lebih besar dibandingkan jumlah lahan RTH sendiri. Masalah ini memberikan perubahan fungsi tanah menjadi lebih buruk. Tanah yang seharusnya menjadi daya resapan air perlahan-lahan berubah fungsi sebagai alat penahan tonggak-tonggak beton yang berdiri dengan gagahnya.Hal seperti ini sangat disayangkan sekali, ini menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat Jakarta akan pentingnya RTH masih sangat minim. Seharusnya sebagai masyarakat Jakarta yang baik, setidaknya ada niat yang timbul untuk merubah kondisi DKI Jakarta menjadi lebih baik lagi. Sebab, siapa lagi yang mau merubah kota Jakarta, selain kita sendiri sebagai bagian di dalamnya. Mulailah dengan hal-hal yang kecil, seperti menanam pohon di pekarangan rumah kita sendiri, sebab hal-hal yang kecil itu adalah sebuah proses dalam menuju ke hal yang lebih besar. Sekarang kembali ke dalam diri kita sendiri, maukah kita melakukan perubahan terhadap kondisi Kota Jakarta ?
0 Responses

Posting Komentar