Pengalaman di muara angke


                                                Membuka Senyum Yang Terkekang
Oleh Felix Wahyu Utomo
Tepat 6 Pebruari 2011, aku dan ke-empat teman angkatanku ( Patrick, Dwi, Jack, Jito ) untuk pertama kalinya melakukan live-in sosial di Muara Angke, Jakarta Utara. Aku dan temanku diantarkan oleh Pak Marsudi. Beliau adalah salah satu anggota LDD ( Lembaga Daya Dharma ), dimana LDD sendiri merupakan sebuah lembaga milik KAJ yang peduli terhadap mereka yang kekurangan. Pak Marsudi mengajak kami ke sebuah rumah di sebuah gang kecil dengan kondisi yang kotor dan kumuh. Di rumah itu, kami dikenali dengan seorang ibu.  Beliau ialah Ibu Holilah, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru dan ibu rumah tangga. Ibu Holilah inilah yang nantinya mengurusi kami berlima selama kami live-in. Ibu Holilah menyediakan kami sebuah ruangan kecil untuk kami tinggali. Kondisi ruangan sungguh mengkhawatirkan bahwasanya dinding ruangan belum diplester dengan rapi dan masih terlihat kardus semen yang utuh di dalamnya. Namun, aku tetap bersyukur, sebab aku dan temanku diterima baik ditempat itu.
Pak Marsudi mulai mengajak kami berlima berkeliling di daerah itu. Tempat pertama yang kami singgahi ialah rumah sekolah. Rumah sekolah ini merupakan salah satu bentuk kepedulian LDD dimana rumah ini berfungsi sebagai sekolah bagi anak-anak yang tidak mampu. Kedatangan kami disana disambut baik oleh anak-anak. Pertama kali, kami semua disuruh untuk memeperkenalkan diri. Setelah itu, kami mendapat tugas untuk mengajar mereka selama lima hari ke depan. Pengalaman mengajar ini merupakan pertama kalinya dalam diriku. Maka, aku sangat senang dengan penglaman yang satu ini.
Setelah selesai mengajar, kami pun berkeliling ke tempat pengeringan ikan. Ternyata, tempat pengeringan di sana sangatlah luas, bahkan halaman rumah pun dijadikan tempat pengeringan bagi mereka. Aku sempat merasa bingung “ Mengapa mereka kuat dengan keadaan seperti ini ? Kalau aku pribadi jujur tidak kuat dengan kondisi ini “, ujarku dalam hati. Namun, aku juga memahami mereka. Mereka kuat dengan kondisi ini karena inilah risiko mereka sebagai seorang nelayan. Tak ada lagi yang bisa diharapkan bagi mereka selain melaut. Terkadang, hasil laut pun tidak sepenuhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jujur, aku cukup miris melihat keadaan mereka. Apalagi kalau melihat anak-anak mereka yang tidak sekolah. Aku sungguh bersyukur bahwasanya aku masih diberi kesempatan untuk merasakan pendidikan yang layak. Pengalaman ini sungguh menjadi pengalaman hidup yang berharga dalam diriku sekaligus menjadi semangat lebih dalam hidupku.
            Tak terasa petang pun berubah menjadi malam. Kami berlima bingung harus melakukan apa. Sebab, keluarga Ibu Holilah sudah tertidur lelap. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke pinggir laut yang letaknya sangat dekat dengan tempat pelelangan ikan. Di sana, kami melihat banyak kapal-kapal besar maupun kecil bersandar di pinggir pantai. Menurut informasi, para nelayan tak berani melaut karena faktor cuaca yang buruk disertai ketinggian ombak yang begitu besar. Sungguh ironis memang kondisi mereka. Penghasilan mereka mulai menurun dengan gangguan tersebut. Maka, kebanyakan mereka hanya bisa tidur-tiduran di kapal karena tidak ada lagi yang bisa diperbuat.
            Malam semakin larut, aku merasa bingung mengapa pasar pelelangan begitu ramai pada malam hari. Ternyata aku baru tahu bahwa para nelayan yang memaksakan diri melaut baru bersandar malam hari dan langsung menjual hasil tangkapannya di pasar tersebut. Oleh karena itulah, para pengunjung berbondong-bondong pergi ke sana, sebab selain murah ikan yang dijual pun masih terlihat segar. Setelah melihat-lihat, kami pun bergegas untuk ulang dan beristirahat.
Tidak Bisa Tidur
            Ketika kami menginjakkan kaki di kamar, kami dikejutkan dengan banyaknya nyamuk di kamar kami. Namun, kami mencoba memaksakan diri untuk tidur. Lagi-lagi banyaknya nyamuk membuat kami tak bisa tidur dengan tenang. Akhirnya, kami pun segera menghabisi nyamuk-nyamuk tersebut sebelum kami tidur. Setelah keadaan mulai membaik, kami pun langsung tidur lagi. Namun ada saja gangguannya. Kali ini, kami merasa kepanasan di dalam kamar. Hal ini terjadi karena kondisi kamar yang sangat kecil dirambah strukur kamar yang belum sepenuhnya rapi. Oleh karena hal itulah, kami semua bermandikan keringat. Maka, kami pun membuka pintu kamar sepanjang malam walau akhir-akhirnya kami harus berkelahi lagi dengan para nyamuk.

Aduh Kesiangan….mas !!
            Tepat pada hari kedua, kami semua sungguh kurang beruntung. Pasalnya, kami berlima kesiangan sehingga kami pun tak mengajar pada pagi itu. Saat itu juga, kami langsung meminta maaf kepda Ibu Holilah yang juga merupakan salah satu guru di rumah sekolah itu. Untung saja, Ibu Holilah mau memaafkan kesalahan kami ini. Setelah itu, kami langsung pergi ke pelelangan untuk melihat-lihat lagi proses pelelangan di sana. Ternyata, melelang ikan itu tak mudah, sebab banyak pengunjung yang memberikan harga tinggi sehingga membuat bingung para nelayan.
            Keseharian kami tak jauh dari tempat pengeringan ikan. Maka, kegiatan kami hanyalah berkeliling memperhatikan kegiatan para nelayan yang sedang mengeringkan ikan. Tadinya, Ibu Holilah ingin mengajak kami untuk melaut, tetapi karena ombaknya besar maka rencana itu dibatalkan. Aku pribadi merasa kurang beruntung karena hal tersebut. Bagiku, rasanya tidak pas kalau tidak melaut padahal aku sedang berada di pemukiman nelayan. Akan tetapi, aku harus memahami kondisi yang ada dan kiranya juga ini baik bagi keselamatanku dan teman-temanku.
            Kami sangat beruntung bisa live-in di rumah Ibu Holilah, sebab Ibu holilah dan keluarganya sangat baik sekali terhadap kami. Mereka sangat akrab sekali dengan kami, maka tak jarang kami sering ngobrol-ngobrol. Oleh karena hal itulah, aku pribadi tidak merasa canggung kalau berbicara dengan keluarganya. Menurutku, Ibu Holilah termasuk orang yang cerdas di lingkungannya. Sebab, walaupun orang kecil, dia mampu berbicara bahasa Inggris walaupun tidak terlalu fasih. Aku sangat kagum melihatnya, ketika ia mengajar anak-anak TK. Kesabaran dalam mendidik anak-anak bisa dibilang sangat besar. Aku pribadi sangat kesulitan mengajar anak-anak TK, tetapi itulah pengalamanku yang takkan kulupakan dalam diriku.
            Pada hari ketiga, kami  diajak oleh Bu Holilah untuk mengikuti rapat di rumah sekolah bersama para guru dan beberapa anggota LDD. Dalam rapat tersebut, Pak Marsudi memberitahu kepada kami bahwa sebenarnya para guru yang dipilih ini bukan hanya mengurusi pendidikan semata tetapi juga mengurusi perekonomian di daerah tersebut. LDD menyebut mereka sebagai CL ( Community Leader ). Dalam rapat ini sebagian besar membahas soal pengaturan uang terlebih soal pengelompokan uang. Dalam rapat itu pula, semua masalah dibahas dan berusaha mencari jalan keluar atas masalah-masalah tersebut. Aku cukup bangga melihat mereka bahwasanya mereka mau berusaha bangkit dari keterpurukan mereka. Mereka sudah mempunyai rencana untuk hidup mereka ke depannya dan inilah yang menjadi kelebihan mereka. Bagi mereka, kemiskinan bukanlah akhir segalanya tetapi pasti ada jalan keluar yang bisa mereka ambil.
            Setelah rapat usai, Pak Kurnadi seorang warga yang juga menjadi anggota LDD mengajak kami ke tempat pelelangan. Di sana, beliau memberitahukan kami bahwa perbedaan ukuran kapal menentukan waktu atau lamanya nelayan melaut. Menurutnya, semakin besar ukuran kapal, maka semakin lama mereka tinggal di laut ± 5 bln, sedangkan semakin kecil kapal maka semakin singkat mereka melaut. Pak Kurnadi ini merupakan seorang yang bekerja di pelelangan itu. Namun, kami tak tahu lebih jelas tentang beliau karena beliau tak menjelaskan secara detail tentang profesinya itu.
            Pada hari ke-empat, kami mendapat tugas untuk mengajar anak-anak TK di rumah sekolah B. Di sana, kami langsung ditunjuk untuk maju ke depan dan disuruh menyanyi oleh para guru. Kami merasa sedikit malu, sebab tidak hanya anak-anak tetapi orang tuanya pun beramai-ramai melihat kami di depan. Setelah usai mengajar, kami diajak Bu Holilah ke sebuah area di pinggir laut. Menurutnya, konon area yang luas itu telah dibeli oleh mantan presiden AS, George W. Bush. Namun, itu baru sebuah isu, tetapi tetap saja para warga sangat khawatir akan hal itu. Sebab, bila itu benar, maka banyak rumah warga di sana yang akan digusur paksa. Dan ini merupakan kerugian dan bahaya besar bagi warga sekitar. Aku pribadi sangat prihatin atas hal ini. Aku sungguh berharap bahwa kabar itu tidak benar adanya. Sebab, aku sungguh merasa kasihan dengan para warga sekitar. Sekarang saja mereka sudah susah, apalagi bila rumah mereka digusur, tak tahu apa jadinya ?
            Setelah berkeliling di bawah teriknya panas, kami pun bergegas untuk pulang ke rumah Bu Holibah, sebab Rm. Eddy selaku pemimpin LDD ingin menemui kami di rumah. Perjalanan dari rumah sekolah ke rumah cukup jauh, apalagi kami hanya berjalan kaki. Ketika sampai di rumah, orang tua Ibu Holilah memberitahu kami bahwa sang romo telah datang sebelum kami datang. Mendengar hal itu, kami sedikit panik tetapi untung saja selang beberapa menit Rm. Eddy kembali ke rumah kami dan bertemu dengan kami. Pertemuan itu diwalai dengan perkenalan dari kami satu per satu. Kunjungan Rm. Eddy hanya singkat karena Rm. Eddy masih mempunyai banyak urusan penting. Maka, setelah kira-kira 15 menit berbicara, Rm. Eddy pun langsung berpamitan kepada kami bersamaan dengan Pak Marsudi yang menghantarkannya
Belaskasihan Sang Ibu              Hadirlah Opor Ayam + Sambal Goreng
            Siang itu, Ibu Holilah berbicara kepada Dwi seorang dari kami berlima. Dia mengatakan bahwa dia merasa kasihan dengan kami terlebih dalam hal makanan. Sebab menurutnya sejak pertama kami live-in sampai dengan hari kedua, kami hanya diberi lauk seadanya. Itu menurutnya, tetapi kami pribadi tidak merasa seperti itu. Kami diterima saja sudah sangat bersyukur. Oleh karena perasaan itulah, Ibu Holilah memasakkan menu special bagi kami, yaitu opor ayam dan sambal goreng. “ Waah, mantep bener ni makanan”, ujar kami. Kami sungguh berterima kepada Ibu Holilah kerana belaskasihannya itu.
            Kini tepat hari terakhir kami di tempat live-in ini. Pagi itu, kami pun langsung mandi dan menyantap sarapan yang telah disediakan Bu Holilah. Sebelum kami pergi, kami pun berfoto-foto terlebih dahulu dengan Dinda ( anak terakhir Bu Holilah ) dan Bu Holilah. Menurut sang ibu, foto-foto ini akan menjadi kenangan berharga baginya, sebab pengalaman bersama kami menjadi pengalaman tersendiri bagi dirinya. Maka dari itulah, Bu Holilah meminta kepada kami untuk mengirimkan foto-foto tersebut.
           
           
           
Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar